REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ichsan Emrald Alamsyah*
'Musik adalah bahasa Jiwa' begitu Kahlil Gibran sang penyair Amerika keturunan Libanon sempat berkata. Lalu bagaimana jika bahasa jiwa yang mengetuk pintu kalbu ini akan diatur negara?.
Hal itulah yang kini diprotes oleh 200 musikus tanah air. Mereka menolak draft Rancangan Undang-Undang Permusikan yang dinilai membelenggu para musikus, bahkan bukan tak mungkin membuat mereka dijebloskan ke dalam penjara.
Berdasarkan keterangan tertulis Koalisi, faktor pertama ditolaknya RUU tersebut adalah adanya pasal karet. Pasal 5 RUU tersebut memuat kalimat yang penuh dengan multi interpretasi dan bias, seperti menyita, melecehkan, menodai, dan memprovokasi.
Pasal ini juga bertolak belakang dengan semangat kebebasan berekspresi dalam berdemokrasi yang dijamin oleh konstitusi NKRI yaitu UUD 1945. Dalam konteks ini, penyusun RUU Permusikan dinilai telah menabrak logika dasar dan etika konstitusi dalam negara demokrasi, dan justru menciptakan iklim negara otoritarian.
Faktor kedua, RUU ini dinilai memarjinalisasi musisi independen dan berpihak pada industri besar. Pasal yang mensyaratkan sertifikasi pekerja musik berpotensi memarjinalisasikan musisi yang tidak sesuai dengan pasal ini. Demikian juga Pasal 10 yang mengatur distribusi karya musik.
Koalisi menilai, dengan tidak memberikan ruang kepada musisi untuk melakukan distribusi karyanya secara mandiri. Pasal ini sangat berpotensi memarjinalisasi musisi, terutama musisi independen.
Menurut musikus Jason Ranti dengan mengatur tentang cara distribusi musik melalui ketentuan yang hanya bisa dijalankan oleh industri besar, maka pasal ini menegasikan praktek distribusi karya musik yang selama ini dilakukan oleh banyak musisi yang tidak tergabung dalam label atau distributor besar. “Ini kan curang,” kata dia dalam keterangannya.
Faktor Ketiga, RUU disebut memaksakan kehendak dan mendiskriminasi. Bagian uji kompetensi dan sertifikasi dalam RUU Permusikan adalah cerminan pemaksaan kehendak dan berpotensi mendiskriminasi musisi. Musisi Mondo Gascaro menjelaskan, Lembaga sertifikasi yang ada biasanya sifatnya tidak memaksa pelaku musik, tetapi hanya pilihan atau opsional.
"Selain itu, pasal-pasal terkait uji kompetensi ini berpotensi mendiskriminasi musisi autodidak untuk tidak dapat melakukan pertunjukan musik jika tidak mengikuti uji kompetensi," kata dia.
Merangkum ujaran para musisi, terlihat amat nyata bahwa RUU Permusikan justru tak pernah atau bahkan tak mendengarkan masyarakat musik. Musikus, tentu amat paham bagaimana menjaga lirik atau perkataan hingga tak menyakiti orang lain.
Hanya saja lirik musik memang punya sejarah panjang menjadi cara seniman mengkritik pemerintah atau anggota legislatif. Sebut saja nama Virgiawan Listanto atau sering disebut Iwan Fals. Melalui lagu berjudul 'Surat Buat Wakil Rakyat', Iwan Fals mengkritik keberadaan DPR yang seringkali tidur kala bersidang. Selain itu juga, anggota DPR yang isinya hanya kumpulan teman dan sanak famili.
Atau bila anda cukup berumur saat ini tentu ingat dengan Lagu Pak Tua karya Elpamas. Pak Tua pengusaha tua yang sudah sakit-sakitan namun tak mau juga berhenti.
Klip lagu ini bahkan dilarang tayang di televisi. Berdasarkan dari liriknya, penulis menilai bisa bermakna ganda, atau ditujukan kepada Presiden Soeharto yang telah berkuasa begitu lama melalui kendaraan Orde Baru. Usut punya usut ternyata lagu itu diciptakan oleh Pitat Haeng yang tak lain adalah Virgiawan Listanto.
Lalu berkaca pada hal di atas bila RUU Permusikan benar-benar diketuk maka buka tak mungkin menjadi alat penguasa untuk membungkam atau memenjarakan musikus. Jangan samakan para musikus ini dengan para Youtuber, yang kadang juga membuat lagu-lagu berlirik tak senonoh. Lagipula kalaupun mereka melahirkan lirik yang 'mengganggu' misalnya bisa dihukum melalui undang-undang lain, contohnya UU Informasi dan Transaksi Eletronik (UU ITE).
Uji Kompetensi
Bicara soal pasal lain yang tak kalah uniknya adalah uji kompetensi bagi musisi. Uji kompetensi, berdasarkan obrolan penulis dengan musisi, memang ada namun tidak memaksa. Akan tetapi bila tercantum dalam undang-undang maka sifatnya akan memaksa.
Kemudian bagaimana dengan musisi yang menolak untuk di uji? Mereka sampai kapanpun takkan diizinkan untuk tampil atau dibayar dengan upah semestinya. Bahkan bukan tak mungkin pertunjukan mereka dihentikan aparat berwenang dengan alasan tak punya 'kompetensi' sebagai musisi.
Mungkin yang paling tepat adalah bagaimana negara mengawasi berjalannya UU Hak Cipta. UU Hak Cipta menurut penulis amat penting untuk diejawantahkan ke berbagai produk hukum hingga ke daerah-daerah.
Sehingga tidak ada lagi musisi yang bernyanyi sambil perut keroncongan. Atau beralih profesi, seperti lirik lagu Bebas Merdeka karya Steven and The Coconut Treez, melakukan penipuan seperti yang termaktub dalam Pasal 378 KUHP.
*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id
http://bit.ly/2HS8CYP
February 06, 2019 at 12:11AM from Republika Online RSS Feed http://bit.ly/2HS8CYP
via IFTTT