Sawit lebih efisien dari segi lahan untuk memproduksi minyak nabati.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menegaskan, pemerintah tetap tidak gentar membawa persoalan minyak kelapa sawit (crude palm oil/ CPO) yang melibatkan Uni Eropa (UE) ke Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/ WTO). Menurutnya, Uni Eropa sudah melakukan diskriminasi terhadap komoditas Indonesia.
Darmin menuturkan, Uni Eropa boleh saja percaya diri untuk menang di WTO. Tapi, pemerintah Indonesia tidak akan merisaukan hal tersebut karena sudah memiliki dasar bahwa UE memang melakukan diskriminasi dengan menyebutnya sebagai komoditas tidak berkelanjutan dengan risiko tinggi untuk deforestasi.
"Dia (UE) emang udah selesai deforestasinya, 200 tahun lalu. Tapi, jangan tiba-tiba bilang kita begitu," tuturnya ketika ditemui di kantornya, Jakarta, Jumat (22/3).
Menurut Darmin, sawit memiliki tingkat efisiensi lebih tinggi dari segi lahan untuk memproduksi minyak nabati. Ia menyebutkan, rapeseed maupun bunga matahari yang banyak ditanam di Eropa membutuhkan lahan hingga 20 kali lebih luas dibanding dengan sawit.
Tentang deforestasi, Darmin menambahkan, Eropa sudah melakukannya sejak ratusan tahun lalu. Mereka menebang pohon di area hutan untuk menanam tanaman guna mendapatkan minyak nabati. "Kemudian, dia (UE) bilang kita tidak boleh (ekspor CPO ke sana). Loh, emangnya, setelah you makmur, kita tidak boleh? Itu diskriminasi," ucapnya.
Darmin menilai, rasa percaya diri UE terhadap posisinya di WTO nanti bukan tanpa sebab. Proses perundingan di WTO terbilang lama untuk mencapai keputusan dan membutuhkan waktu hingga tahunan. Tapi, ia memastikan, hal ini tidak menurunkan semangat pemerintah Indonesia untuk membawa permasalahan diskriminasi UE ke meja WTO.
Klasifikasi CPO sebagai risiko tinggi itu masuk dalam rancangan peraturan Komisi Eropa, yakni, Delegated Regulation Supplementing Directive 2018/2001 of the EU Renewable Energy Directive (RED II). Apabila RED II tersebut disahkan, CPO dan produk turunannya seperti biofuel tidak dapat masuk ke pasar UE. Sebab, mereka dianggap tidak memenuhi syarat dari sisi keberlanjutan.
Selain melalui WTO, Darmin menuturkan, pemerintah juga akan mencari upaya lain untuk menghentikan UE menghentikan akses CPO ke mereka. Di antaranya dengan melibatkan para pengusaha asal UE untuk melawan sikap diskriminatif UE.
Pemerintah meminta dukungan agar mereka dapat menyampaikan pandangan dan keprihatinan Indonesia kepada pemerintahan negara-negara UE melalui investor. "Kita akan lakukan hal lain yang memang bisa kami lakukan," ujar Darmin.
Menurut catatan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), volume ekspor CPO dan turunannya sepanjang 2018 mencapai 32,02 juta ton. Total itu berasal dari tiga negara utama, yakni India 6,71 juta ton, Uni Eropa 4,78 juta ton dan Cina 4,41 juta ton. Ekspor ke AS hanya 1,21 juta ton dan kumpulan negara nontradisional lain adalah 6,44 juta ton.
Wakil Ketua III GAPKI Togar Sanggani menyebutkan, rencana Komisi Eropa untuk mengadopsi draf Delegated Regulation yang mengklasifikasikan minyak kelapa sawit sebagai komoditas tidak berkelanjutan risiko tinggi menimbulkan potensi kerugian hingga 4 miliar dolar AS.
Nominal tersebut merupakan nilai ekspor minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) Indonesia ke Uni Eropa. Di sisi lain, Togar menambahkan, isu ketenagakerjaan akan menjadi dampak nonekonomi yang timbul. "Konflik sosial berpotensi muncul," tuturnya ketika ditemui usai konferensi pers di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Senin (18/3).
Togar mengatakan, pengusaha kini hanya bisa wait and see menunggu pasal-pasal yang akan dituliskan Komisi Eropa dalam regulasi tersebut. Ia memastikan, pengusaha akan mendukung keputusan yang diambil pemerintah dalam menghadapi diskriminasi ini.
Let's block ads! (Why?)
https://ift.tt/2FusFt2
March 22, 2019 at 05:25PM from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2FusFt2
via
IFTTT