REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rahmat Hidaya
Pada sebagian masyarakat Indonesia, ada tradisi munggahan ketika menyambut bulan suci Ramadhan. Tradisi tersebut penuh kearifan dan makna sebagai bentuk kesyukuran karena diberikan umur panjang dan kebahagiaan menyongsong datangnya Ramadhan, sekaligus menunjukkan kesiapan fisik dan mental untuk berpuasa agar bisa naik (monggah) derajatnya di sisi Allah SWT.
Kalau kita perhatikan, dalam kurun waktu 11 bulan, sebagian besar waktu dan tenaga kita lebih diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan fisik dibanding rohaniah kita. Dari bangun tidur sampai mau tidur lagi, kita sibuk dengan urusan duniawi, mulai urusan bisnis, ekonomi, politik, dan sebagainya. Akan tetapi, kita sering alpa dengan kebutuhan rohaniah kita.
Maka, pada bulan Ramadhan ini bagaimana kita dapat memberikan porsi (perhatian) yang semestinya akan dimensi rohanianya agar kembali seimbang antara dimensi jasmaniah dan rohaniah. Dengan demikian maka ibadah puasa menjadi semacam media untuk "menyeimbangkan" kehidupan kita agar kembali ke jati diri (fitrah) kemanusiaan kita sekaligus kita berproses dan naik (monggah) menuju derajat takwa. (QS al-Baqarah: 183).
Sebagai media untuk mencapai derajat ketakwaan, ibadah puasa sarat dengan pesan moral, baik yang berhubungan dengan Allah (hablun minallah) maupun manusia (hablun minannas). Berbagai pesan moral tersebut harus disadari, dipahami, serta diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari agar kita mampu melakukan perbaikan di seluruh dimensi kehidupan.
Secara syar'i, puasa bermakna menahan diri dari hal-hal yang dapat membatalkan puasa (al-imsak 'anil mufthirat), yaitu makan, minum, dan melakukan hubungan suami istri sejak terbit fajar sampai terbenamnya matahari karena Allah SWT. Tata cara berpuasa sebagaimana ketentuan syariah di atas pada dasarnya merupakan simbol pengendalian diri manusia dari hal-hal yang menjadi kecendrungan hawa nafsu (al-imsak 'amma tunazi'u ilaihi an-nafs) dalam arti seluas-luasnya.
Artinya, di samping menahan diri dari makan, minum, dan melakukan hubungan suami istri sebagai syarat formal sahnya puasa sebagaimana ketentuan syariat, tetapi bagaimana kita menahan diri dari berbagai hal yang menjadi kecendrungan nafsu secara lebih luas.
Kalau kita renungkan, sejatinya makan, minum, dan melakukan hubungan suami istri merupakan hal yang boleh (mubah), bahkan dalam batas-batas tertentu "sunah". Namun, selama Ramadhan, sejak terbit fajar sampai terbenamnya matahari ketiga hal tersebut dilarang dilakukan. Hal ini memberikan pesan moral kepada kita.
Pertama, manusia tidak mempunyai hak mutlak terhadap dirinya apalagi terhadap yang lain dan yang memiliki hak mutlak hanyalah Allah SWT. Kedua, Allah SWT ingin menguji hamba-Nya, apakah ia patuh akan perintah Allah atau patuh terhadap bisikan nafsu.
Bayangkan, terhadap hal-hal yang sejatinya halal, kalau Allah berkehendak melarangnya, harus kita patuhi, apalagi terhadap hal-hal yang nyata-nyata haram, maka wajib kita menjauhinya karena bagi setiap orang yang beriman kepada Allah ketika diperintahkan oleh-Nya harus patuh dan tidak ada opsi memilih terhadap perintah Allah tersebut. (QS al-Ahzab: 36).
Ibadah puasa juga merupakah ibadah rahasia (sirriyah) sebab yang tahu kalau kita sedang berpuasa hanya Allah dan kita. Pada saat kita berpuasa kita merasakan kehadiran akan eksistensi Allah SWT. Kesadaran demikian akan membuahkan sikap ihsan sehingga akan selalu berbuat baik dan menjauhi larangannya karena merasa dilihat oleh Allah (anta'budallah kaannaka tarahu, faillam rakun taraahu fainnahu yaraaka).
Maka, pesan moral yang kita dapatkan dalam berpuasa adalah membentuk sikap jujur dan disiplin. Oleh karena itu, wajar orang yang sedang berpuasa tidak berani sedikit pun melanggar ketentuan berpuasa, misalnya, minum meskipun ada kesempatan (seperti saat berwudhu), ibu-ibu yang sedang memasak persiapan buka puasa tidak berani makan meskipun ada kesempatan karena merasakan kehadiran akan eksistensi Allah SWT.
Pada saat kita sedang berpuasa kita juga merasakan lapar dan haus. Padahal, bagi sebagian orang, asupan gizi pada saat berbuka puasa dan bersahur lebih lengkap dan lebih baik, tapi toh tetap merasakan lapar dan harus. Pesan moral yang kita dapatkan adalah bagaimana merasakan penderitaan orang lain. Oleh karena Rasulullah SAW memerintahkan kita untuk banyak berbagi, berinfak, bersedekah, termasuk menyiapkan makan bagi orang yang berpuasa.
Dalam konteks kehidupan sosial kemasyarakatan, semangat berbagi itu penting, apalagi di tengah-tengah kondisi masyarakat masih banyak yang miskin serta ketimpangan sosial yang cukup tinggi. Kita menyadari, tidak semua penduduk Indonesia beruntung menikmati kekayaan alam yang melimpah, ada yang sangat kaya (raya), tetapi banyak juga yang miskin, bahkan sangat miskin (fakir). Oleh karena itu, semangat berbagi, terutama saat Ramadhan yang penuh berkah ini penting dilakukan dan ditingkatkan.
Semoga, puasa pada bulan Ramdhan nanti menjadi puasa terbaik untuk kita. Kita dapat memahami dan melaksanakan pesan moral ibadah puasa yang kita lakukan, sehingga kita menjadi hamba Allah yang muttaqin. Amin.
http://bit.ly/2Lf6xrv
April 30, 2019 at 06:37PM from Republika Online RSS Feed http://bit.ly/2Lf6xrv
via IFTTT
0 Comments:
Post a Comment