REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Maraknya praktik penyedia jasa joki di perguruan tinggi yang menawarkan diri mengerjakan tugas mahasiswa dengan imbalan uang mendorong pemerintah Australia bertindak tegas. Pemerintah telah mengajukan rancangan undang-undang (RUU) yang akan mengkriminalisasi praktik jasa perjokian dengan ancaman penjara dua tahun serta denda hingga 210 ribu dolar AS (sekitar Rp 2,1 miliar), Senin (8/4).
Jasa perjokian marak di lembaga pendidikan tinggi Australia, terutama di kalangan mahasiswa internasional. Kini semakin banyak penyedia jasa yang secara terang-terangan mempromosikan layanan mereka melalui media sosial, termasuk di kalangan mahasiswa asal Indonesia.
Menteri Pendidikan Dan Tehan dalam keterangan persnya menyebutkan, para pelaku yang menjual jasa perjokian untuk ujian dan tugas mahasiswa kini akan menghadapi hukuman tegas. "Kejahatan kecurangan secara terorganisir di dunia akademik telah mengancam integritas sistem pendidikan tinggi Australia," ucap Menteri Tehan.
"Melakukan kecurangan itu salah. Pemerintahan PM Scott Morrison kini menyasar mereka yang menghasilkan uang dengan cara mengeksploitasi para mahasiswa," katanya.
Bentuk-bentuk kecurangan yang dilakukan mahasiswa cukup beragam, termasuk meminta pihak lain menuliskan tugas makalah, mengerjakan tugas ujian, atau bahkan membuatkan skripsi. Di berbagai forum media sosial dan website, banyak yang menawarkan jasa melakukan hal itu dengan tarif bervariasi mulai dari 30 dolar AS hingga 350 dolar AS untuk satu makalah.
Bahkan, di salah satu forum media sosial komunitas Indonesia, sesuai pengamatan ABC pada Senin, ada seseorang yang menawarkan jasanya untuk mengerjakan tugas-tugas mahasiswa di jurusan manajemen, pelayanan, dan bisnis. "Tarif yang saya minta antara 30-150 dolar AS per tugas, tergantung pada tingkat kesulitan tugas tersebut dan waktu luang saya," tulis postingan tersebut ke salah satu grup Facebook.
Salah satu persoalan yang cukup menonjol di berbagai perguruan tinggi Australia belakangan ini, yaitu menyangkut kemampuan bahasa Inggris mahasiswa internasional yang buruk. Beberapa waktu lalu, ABC menemukan seorang mahasiswa asing yang sudah menyelesaikan tahun pertama kuliahnya, namun sama sekali tidak mampu berbahasa Inggris.
Kalangan universitas membantah telah menurunkan standar syarat masuk perguruan tinggi bagi mahasiswa internasional demi mengejar jumlah mahasiswa asing yang membayar SPP dengan harga mahal. Industri pendidikan tinggi di Australia diperkirakan bernilai sekitar 32 miliar dolar AS atau sekitar Rp 320 triliun per tahun.
Kualitas pendidikan jadi rusak
Menteri Dan Tehan menyatakan, maraknya praktik kecurangan mengancam kualitas pendidikan negara ini. "Jika Anda menuliskan makalah kuliah untuk orang lain, maka itu suatu bentuk kecurangan. Anda telah merusak kerja keras mahasiswa lainnya dan merusak sistem pendidikan kami yang kelas dunia," katanya.
"Kami akan menjadikan kecurangan seperti itu sebagai kejahatan yang tak akan kami biarkan berkembang," tambahnya.
RUU ini disusun menyusul adanya masukan dari lembaga Higher Education Standards Panel dan didukung pihak perguruan tinggi. Dalam implementasinya, jika RUU ini lolos di parlemen, pihak Tertiary Education Quality and Standards Agency (TEQSA) akan diberi kewenangan untuk menindaki para pelaku, termasuk menyeret mereka ke pengadilan. TEQSA juga akan memiliki kewenangan untuk meminta surat perintah pengadilan guna memblokir akses ke situs yang menawarkan jasa seperti ini.
http://bit.ly/2WUbkzI
April 08, 2019 at 03:01PM from Republika Online RSS Feed http://bit.ly/2WUbkzI
via IFTTT
0 Comments:
Post a Comment