Sunday, April 28, 2019

ICW Sesalkan Minimnya Pencabutan Hak Politik

Dari 88 politikus terdakwa korupsi hanya 42 yang dituntut dicabut hak politiknya.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pencabutan hak politik merupakan salah satu jenis pidana tambahan yang diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan yaitu, Pasal 18 ayat (1) huruf d UU Tipikor jo. Pasal 10 jo. Pasal 35 KUHP. Kedua regulasi tersebut menjadi legitimasi bagi jaksa maupun hakim untuk mencabut hak politik seorang terdakwa yang berasal dari dimensi politik.

Sejatinya pencabutan hak politik akan membatasi hak dari seorang narapidana untuk menduduki jabatan tertentu selama kurun waktu yang ditentukan. Ini semata-mata dilakukan dengan dalih bahwa tindak pidana korupsi merupakan extraordinary crime, maka wajar saja jika model penghukuman pun harus dilakukan dengan berlandaskan efek jera yang maksimal.

Dalam pantauan Indonesia Corruption Watch (ICW) dari tahun 2016-2018 KPK setidaknya telah menuntut 88 terdakwa dari dimensi politik. Akan tetapi yang cukup mengecewakan, KPK hanya menuntut 42 terdakwa agar dicabut hak politiknya.

"Hal lain yang patut disesalkan adalah ketika KPK tidak menuntut pencabutan hak politik atas terdakwa Sri Hartini, Bupati Klaten. Alasan yang diutarakan Jaksa saat itu adalah karena tuntutan pidana penjara sudah cukup tinggi sehingga tidak diperlukan lagi pencabutan hak politik," kata peneliti ICW, Lalola Easter di Kantor ICW Jakarta, Ahad (28/4).

Padahal tujuan keduanya sudah jelas berbeda. Pidana penjara, kata Lalola, dimaksudkan agar yang bersangkutan dapat merasakan penghukuman atas kejahatan yang dilakukan.

"Sedangkan pencabutan hak politik dimaksudkan agar yang bersangkutan tidak dapat menduduki jabatan tertentu setelah menjalani hukuman karena telah berkhianat dengan jabatan yang diemban sebelumnya," ucapnya.

Let's block ads! (Why?)


http://bit.ly/2ZHeSYj
April 28, 2019 at 08:30PM from Republika Online RSS Feed http://bit.ly/2ZHeSYj
via IFTTT
Share:

0 Comments:

Post a Comment