Dulu, sekira tahun 2003-2004 (lupa tepatnya) saya pernah turut serta mengajar pelajaran bahasa Inggris untuk level anak-anak sekolah dasar di sebuah masjid di daerah Buncit, Jakarta Selatan, (lupa nama masjidnya) di bawah naungan sebuah lembaga kursus yang diinisiasi oleh pasangan suami istri muda. Lembaga ini bekerjasama dengan forum remaja masjid setempat.
Murid-muridnya berasal dari lingkungan sekitar masjid, mulai tingkat SD, hingga SMA. Banyak sekali, ratusan anak. Belajarnya malam hari selepas Isya. Dalam satu malam, dibagi menjadi beberapa kelompok kelas sesuai level. Pengajarnya adalah para relawan.
Saat ini di masjid Al-Ikhlash yang berada di komplek tempat kami tinggal, Para DKM menginisiasi kegiatan bimbingan belajar berbasis masjid. Targetnya adalah anak-anak dan remaja warga komplek/jama'ah masjid, namun sepertinya antusiasme jama'ah yang mendaftarkan anak-anaknya pada program tersebut belum signifikan. Meski begitu, alhamdulillah, program Bimbel yang diberi nama AISmart (Al-Ikhlash Smart) dapat berjalan.
Rupanya, beda zaman, beda tempat, dan demografi, beda pula tantangan yang dihadapi. Di lingkungan komplek perumahan dengan tingkat ekonomi yang lebih mapan dan merata, para orang tua sudah menyerahkan urusan pendidikan formal dan suplemennya kepada lembaga-lembaga pendidikan established seperti lembaga-lembaga kursus dan Bimbel. Biaya tidak menjadi masalah.
Bisa dimaklumi, dengan standar pendidikan seperti saat ini, tentu para orang tua tidak ingin coba-coba dalam memberikan pendidikan bagi anak-anaknya. Ada effort yang mereka investasikan di sana: Uang, waktu, tenaga, pikiran, dan masa depan si anak.
Padahal, lebih dari itu, masjid lewat program-programnya mempunyai tujuan yang lebih mulia dari sekadar pemenuhan edukasi formal, yaitu menciptakan generasi Rabbani, generasi yang hatinya selalu terpaut dengan masjid.
Pada titik ini, jamaah seperti kehilangan kepercayaan kepada masjid. Program-program layanan seperti itu, kadung dianggap hanya sebagai program setengah hati dari DKM, intinya kurang meyakinkan.
Berbeda dengan masjid di luar komplek perumahan, program-program ghairu mahdah terlihat ramai diikuti oleh jamaahnya, baik program untuk orang dewasa, maupun anak-anak, dengan antusiasme yang tinggi. Bisa jadi, faktor kebutuhan dan ekonomi mendapatkan titik temu pada program-program yang disediakan oleh masjid. Biaya kursus/bimbel di luar yang dirasa cukup mahal oleh jama'ahnya, mendapat solusi di masjid yang memberikan subtitusi program dengan biaya seikhlasnya.
Oleh karenanya, masjid perlu tampil bukan hanya sebagai penyelenggara ibadah-ibadah mahdah saja, lebih dari itu, masjid harus tampil sebagai pusat peradaban ummat dan memantaskan diri untuk mendapatkan kepercayaan dari jama'ahnya sebagai pusat peradaban tersebut, setidaknya masjid mendapatkan kepercayaan dari jam'ah sebagai penyelenggara pendidikan semiformal seperti Bimbel, dan pusat pelatihan untuk anak-anaknya.
Para DKM harus bisa mengonversi pelayanannya kepada ummat menjadi pelayanan yang lebih kontemporer, dan memberikan perhatian lebih serius pada program-program tersebut. Ini penting dan urgent disegerakan sebagai langkah kaderisasi generasi muda.
Program AISmart yang sedang dicoba di jalankan di masjid Al-Ikhlash adalah salahsatu konversi layanan kontemporer tersebut, dengan mengkhususkan pada segmentasi anak dan remaja, sebagai bagian dari upaya kaderisasi.
Tujuannya adalah meningkatkan interaksi remaja dengan masjid baik secara kualitas maupun kuantitas. Sambil berjalan, para DKM harus terus berusaha mendapatkan kepercayaan dari para orang tua, untuk mengalihkan kegiatan anak-anak mereka ke masjid.
Para aktivis masjid yang berencana mengoptimasi fungsi masjid perlu mengkaji dan mencari solusi atas kesenjangan ini. Agar regenerasi kader-kader masjid tidak kehilangan gairahnya.
Agar para remaja yang lebih banyak aktif di luar, lambat laun bisa lebih aktif di masjid, dan para orang tua yang sebelumnya kurang mendorong anak-anak remajanya untuk aktif pada kegiatan masjid, punya alasan kuat untuk lebih keras mendorong.
Upaya ini tentu tidak bisa berjalan sendiri, perlu sebuah roadmap yang komprehensif dari hulu ke hilir. Sambil menyusun roadmap dan menyamakan persepsi, jangan sungkan untuk membuat langkah-langkah kecil! Salam enthusiast!
Dani Ardiansyah, Founder Masjid Enthusiast Community
Pengirim: Ryanto, Depok
http://bit.ly/2DavDBv
April 12, 2019 at 05:30PM from Republika Online RSS Feed http://bit.ly/2DavDBv
via IFTTT
0 Comments:
Post a Comment