REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian ESDM merilis kebijakan untuk mengubah formula harga gas elpiji kemasan tabung 3 kilogram (kg) melalui Keputusan Menteri ESDM Nomor 61 K/12/MEM/2019 tentang Harga Patokan Liquefied Petroleum Gas Tabung 3 Kilogram Tahun Anggaran 2019. Langkah pemerintah mengeluarkan kebijakan ini untuk menciptakan harga keekonomian gas elpiji yang sesuai dengan kondisi real dan jauh lebih efisien.
Aturan yang keluar pada Maret dan berlaku surut sejak 1 Januari 2019 ini nantinya memang akan mengubah acuan perhitungan harga keekonomian gas elpiji. Nantinya, hal tersebut akan berpengaruh pada besaran tagihan subsidi yang ditanggung oleh negara.
Wakil Menteri ESDM, Arcandra Tahar merinci perubahan formula yang baru dengan formula yang lama berada dalam besaran persenan Harga Indeks Pasar (HIP) yang memakai acuan CP Aramco sebagai acuan dasar harga gas. Selain itu perbedaan dalam formula yang baru adalah besaran variabel cost produksi.
"Kuncinya perubahan formula ini efisiensi logistik dan riil cost yang ada. Jadi, sesuai dengan fakta dan dalam struktur cost tambahan ada efisiensi yang bisa dilakukan," ujar Arcandra di Kementerian ESDM, Ahad (21/4).
Arcandra merinci pada formula lama ditetapkan bahwa struktur harga keekonomian gas elpiji didapat dari 103,64 persen HIP + 84 dolar AS per metrik ton + Rp 1.950 per kilogram. Arti dari formula tersebut adalah 103,64 persen HIP adalah seluruh komponen pembentuk harga dasar yang berupa satuan CP Aramco rata rata harian, kurs rupiah atas dolar AS rata-rata harian dan juga perbedaan harga komponen antara impor gas dengan produksi gas dalam negeri.
"Kita melihat harga tahun 2018-2017 HIP seperti apa, yang dibeli impor dengan yang diproduksi sama pertamina. Kita evaluasi berapa besar impor berapa besar kilang. Ternyata nggak 103,64 persen lagi. Itu kan referensinya harga CP Aramco. Bahkan terkadang di atas CP Aramco. Sehingga formula lama tersebut tidak mencerminkan harga aktual," ujar Arcandra.
Sedangkan patokan harga 84 dolar AS per metrik ton merupakan angka ongkos produksi gas dan pengolahan gas menjadi epiji. Komponen tersebut juga ditentukan oleh acuan internasional. Sedangkan untuk Rp 1.950 per kilogram merupakan variable yang terdiri dari margin usaha, margin penyalur dan ongkos penyimpanan serta distribusi.
Padahal jika memakai formula lama, maka beban pemerintah untuk membayar subsidi elpiji sebesar Rp 3.800 per kilogram dengan asumsi HET elpiji saat ini sebesar Rp 18.000 per tabung dan harga keekonomian LPG apabila menggunakan formula lama sebesar Rp 29.400 per tabung.
"Selisihnya itu coba dikali dengan berapa jatah ton alokasi subsidi gas elpiji? Itu bebannya sebesar itu," ujar Arcandra.
Sturktur harga tersebut pada formula baru berubah menjadi 103,85 persen HIP + 50,11 dolar AS per metrik ton + Rp 1.879 per kilogram. Artinya, dalam satuan harga dasar mengalami peningkatan karena selama ini salah satu variable biaya yaitu baya kapal selalu berubah.
Hanya saja, jelas Arcandra, terjadi penurunan di variable ongkos angkut dan margin usaha dan margin penyalur yang bisa lebih efisien. Sedangkan acuan 50,11 dolar AS per metrik ton adalah satuan biaya pengolahan dan produksi sesuai dengan harga rata rata harian acuan internasional atas gas.
Lebih lanjut Arcandra mengatakan dengan formula baru tersebut maka beban subsdi yang akan dibayarkan pemerintah pada anggaran tahun 2019 ini jauh lebih hemat dibandingkan jika harus memakai formula lama. Hal tersebut selain karena trend CP Aramco yang cenderung turun, ada penghematan biaya logistik.
"Harapannya dengan formula baru ini kita bisa mendapatkan harga yang lebih aktual. Selain itu ada aspek penghematan yang bisa didapat dari formula tersebut," ujar Arcandra.
http://bit.ly/2XwB8SO
April 21, 2019 at 12:16PM from Republika Online RSS Feed http://bit.ly/2XwB8SO
via IFTTT
0 Comments:
Post a Comment