REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menjelang pemilihan umum yang akan diselenggarakan Selasa (9/4) besok, sejumlah anggota parlemen Israel (Knesset) dan beberapa pimpinan partai berkunjung ke Jisr al-Zarqa, wilayah perbatasan yang didominasi warga Palestina untuk berkampanye. Kepala dewan lokal Jisr al-Zarqa, Murad Amash meragukan siapa kandidat yang akan dia pilih di pemilihan nanti.
"Saya ragu partai mana yang akan saya pilih, karena kegagalan mereka mengatasi masalah kota yang parah," kata Amash yang dikutip dari Al-Jazeera.
Menurut keterangan yang disampaikan Amash kepada Al-Jazeera, pada November 2017 lalu, Perdana Menteri Israel, Benyamin Netanyahu pernah mengunjungi Jisr al-Zarqa untuk menghadiri pembukaan kantor polisi disana. Saat kunjungan tersebut, Netanyahu sempat menyinggung persoalan kekerasan yang banyak terjadi saat itu.
Namun dalam pidatonya, ketua partai Likud itu mengatakan bahwa pembangunan kantor polisi hanya dapat mengurangi kasus kekerasan, namun tidak dengan persoalan ekonomi dan sosial di kota yang menurutnya bobrok itu.
Dalam pidatonya pada saat itu, Netanyahu juga mengakui bahwa pemerintah Israel telah lama mengabaikan Jisr al-Zarqa dan berjanji lebih sering berkunjung. Selain itu, Netanyahu juga berjanji untuk memperbaiki kondisi di kota perbatasan Palestina-Israel itu.
"Dan itu adalah terakhir kali kami melihatnya berkunjung," kata Amash.
Jafar Farah, Direktur Mossawa Center yang berbasis di Haifa (Pusat Advokasi Warga Arab di Israel) memperkirakan warga Jisr al-Zarqa tidak meraskan animo apapun dalam menyambut pesta rakyat yang akan diadakan 9 April 2019 nanti. Dia bahkan meyakini hanya segelintir warga saja yang akan menyalurkan suara.
"Warga negara Palestina-Israel (Jisr-al-Zarqa) tidak merasa bahwa pemungutan suara akan mengubah pengalaman 70 tahun dipinggirkan, dianggap warga negara kelas dua, dan menjadi sasaran rasisme dan diskriminasi yang dilembagakan, termasuk melalui hukum negara-bangsa Yahudi dan undang-undang lainnya dan kebijakan," kata Farah.
Di tengah kondisi suram, warga Palestina yang tinggal di Israel telah mengandalkan upaya untuk membentuk komunitas yang kuat untuk meningkatkan kondisi mereka. Salah satu organisasi adalah Mossawa, yang telah berhasil memaksa pemerintah untuk mendanai pusat anak usia dini pertama di Jisr al-Zarqa, program pelatihan 50 perawat, dan sebuah proyek untuk membangun 400 unit rumah bagi warga lokal.
"Akhirnya, setelah 70 tahun diskriminasi, dewan kota dapat memperoleh persetujuan untuk membangun lingkungan baru, karena warga tidak lagi merasa bahwa desa dan kota mereka milik mereka. Mereka takut," kata Farah.
Kota dengan 15 ribu penduduk yang mayoritas warga Palestina ini, selama bertahun-tahun menghadapi krisis pertanahan dan perumahan yang serius. Ratusan hektar di Jisr al-Zarqa digusur demi membangun proyek-proyek infrastruktur pemerintah, seperti jalan raya yang menghubungkan Tel Aviv ke Haifa.
Kepala dewan lokal Jisr al-Zarqa, Murad Amash mengatakan, dengan populasi yang terus bertambah, pemerintah Israel justru semakin memeras tanah Jisr al-Zarqa, yang hanya seluas 150 hektare. Sementara di Beit Hanania yang dihuni tak lebih dari 1000 penduduk Yahudi, diberikan tanah seluas 300 hektar tanpa adanya penggusuran seperti halnya yang terjadi di Jisr al-Zarqa.
Amash mengatakan, saat dewan lokal Jisr al-Zarqa meminta negara untuk mendirikan industri serupa untuk dijadikan sumber pendapatan kota, permintaan itu justru ditolak. "Kami percaya itu adalah hak kami untuk mendapatkan semacam dukungan dari negara Israel. Kami adalah warga negara. Ada banyak pembicaraan dan negosiasi mengenai hal itu, tetapi negara tidak menerima permintaan ini," kata Amash yang dikutip dari Al-Jazeera.
"Bukan hanya diabaikan dan ditinggalkan. Negara melakukannya dengan sengaja, ini jelas diskriminasi," kata Amash.
http://bit.ly/2CZ0sck
April 07, 2019 at 02:13PM from Republika Online RSS Feed http://bit.ly/2CZ0sck
via IFTTT
0 Comments:
Post a Comment