REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kota yang harmonis. Pujian ini tertulis pada catatan ahli geografi bernama Ibnu Hawkal pada 987 Masehi. Ia menyanjung Kairo, ibu kota pemerintahan Mesir. Ia menyebutkan, luas kota ini tiga kali lipat dibandingkan Baghdad. Jalan yang teduh, taman, serta pasar yang teratur menjadi pemandangan kota ini.
Rumah bertingkat hingga tujuh melengkapi lanskap kota ini. Sekitar 200 orang bisa tinggal di bangunan tersebut. Gambaran keindahan ini diperkaya oleh tulisan seorang pelancong dari Persia, Nasir Khusrow, sekitar 70 tahun setelah Hawkal mengungkapkan pengalamannya berada di sana. Secara tidak langsung, ia menuturkan tingkat teknologi serta seni yang dicapai masyarakat.
Ia mengagumi barang-barang yang diperdagangan di pasar, seperti keramik yang beraneka warna, kaca hijau transparan yang mahal, batu kristal, dan cangkang kura-kura. Ia menyaksikan pula hasil-hasil pertanian yang melimpah. Dalam jumlah besar, buahbuahan, sayur-mayur, serta bunga dijajakan di pasar dan dapat dengan mudah dinikmati warga.
Irene Beeson, koresponden lepas untuk beberapa majalah dan surat kabar Inggris dan Timur Tengah, dalam tulisannya, Cairo: A Millenial, menjelaskan secara harfiah nama Kairo berasal dari bahasa Arab, “qahira”, yang berarti para pemenang. Keberadaan kota ini bermula dari perluasaan wilayah yang dilakukan penguasa Muslim.
Semua bermula pada 8 Agustus 969. Jenderal Gawhar yang bertindak atas kekhalifahan Dinasti Fatimiyah menaklukkan al-Fustat. Dia kemudian memilih daerah di bagian timur laut sebagai istana khalifah yang akhirnya dijadikan ibu kota bernama Kairo.
http://bit.ly/2UKu0VN
April 17, 2019 at 04:36PM from Republika Online RSS Feed http://bit.ly/2UKu0VN
via IFTTT
0 Comments:
Post a Comment