Saturday, April 20, 2019

Kementan Ajak Produsen Obat Hewan Tingkatkan Kualitas

Indonesia telah berhasil mengekspor obat hewan ke 93 negara.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pertanian mengajak seluruh produsen obat hewan memperluas akses pasar. Hal itu dilakukan melalui peningkatan kualitas produk dengan penerapan Cara Pembuatan Obat Hewan yang Baik (CPOHB).

Produsen juga harus mewaspadai ancaman penyakit infeksi baru, dan resistensi antimikroba. Hal tersebut mengemuka pada saat Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH), Kementan bertemu dengan para produsen obat hewan dan Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI) di Jakarta (15/4).

Direktur Kesehatan Hewan, Fadjar Sumping Tjatur Rasa menyampaikan bahwa pertemuan dengan produsen ini rutin dilakukan sejak tahun 2018 dengan mengangkat tema terkait upaya-upaya peningkatan ekspor obat hewan Indonesia dan isu-isu penting seputar peternakan dan obat hewan.

Pertemuan ini dihadiri oleh semua produsen obat hewan, baik itu produsen obat hewan sediaan biologik, sediaan farmasetik, sediaan premiks, dan sediaan obat alami yang tersebar di seluruh indonesia.

Pada kesempatan ini dibahas peran produsen obat hewan dalam menjamin kuantitas dan kualitas (mutu, khasiat, dan keamanan) untuk peningkatan produksi peternakan dan akses pasar yang lebih luas. Peran produsen obat hewan dalam pencegahan laju resistensi antimikroba juga menjadi diskusi. 

Pada periode tahun 2015-2018 Indonesia telah berhasil mengekspor obat hewan ke 93 negara. Nilainya lebih dari Rp 23,54 Triliun. Nilai ekspor dan jumlah negara penerima ini trendnya terus meningkat setiap tahunnya.

Kementan berharap adanya pertemuan rutin dengan para produsen obat hewan Indonesia akan mendorong peningkatan akses pasar ke berbagai negara. Juga disertai peningkatan volume dan nilai ekspornya.

"Beberapa waktu yang lalu kita berhasil menyepakati rencana peningkatan ekspor berbagai produk peternakan termasuk obat hewan ke Timor Leste. Pemerintah akan selalu berupaya untuk membuka akses-akses pasar seperti ini untuk kemudian mengajak para produsen peternakan mengisi peluang-peluang tersebut," tambahnya. 

Menurut Ni Made Ria Isriyanthi, Kasubdit Pengawasan Obat Hewan, Ditjen PKH, dalam rangka mendukung peningkatan ekspor tersebut, produsen obat hewan Indonesia harus menerapkan CPOHB dengan konsisten. "Untuk lebih memahami tentang CPOHB ini, Kementan telah mengundang 3 narasumber ahli CPOHB untuk memberikan penjelasan terkait penerapan CPOHB pada fasilitas produksi sediaan biologik, fasilitas produksi sediaan farmasetik dan premiks, serta fasilitas produksi sediaan obat alami," jelas Ria.

Sementara itu, terkait ancaman resistensi anti mikroba (AMR), Irawati Fari, Ketua ASOHI mengapresiasi upaya Kementan dalam mengatur penggunaan antimikroba melalui terbitnya Peraturan Menteri Pertanian Nomor 14 Tahun 2017. Irawati juga menegaskan dukungan ASOHI kepada pemerintah dalam upaya pengendalian antimikroba disektor peternakan dan kesehatan hewan. 

Kerja sama lintas sektor

Lebih lanjut, dalam penjelasannya Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) Kementerian Kesehatan, Hari Paraton menambahkan bahwa isu AMR merupakan isu global dan dalam penanganannya memerlukan kerjasama lintas sektor melalui pendekatan “One Health” yang melibatkan unsur kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan. 

Penggunaan antimikroba yang tidak sesuai aturan dapat menimbulkan percepatan resistensi antimikroba baik di sektor manusia, hewan, dan lingkungan. Kerja sama antara sektor-sektor tersebut sangat diperlukan untuk memperlambat laju AMR.

"Oleh karena itu saya mengajak para produsen obat hewan untuk memproduksi antimikroba yang sesuai dengan kebutuhan terapi di peternakan, dan ikut mengedukasi pelanggannya untuk menggunakan antimikroba secara bijak dan bertanggung jawab," tegas Hari.

Sebagian pelaku usaha dan peternak dinilai belum memahami dan mengerti seutuhnya bahaya AMR, penyakit infeksi baru, dan zoonosis. Sedangkan produsen obat hewan merupakan penentu awal arah penggunaan antimikroba, sehingga para produsen ini harus mengerti kondisi AMR yang mengancam kehidupan di bumi. 

"Karena itu, menyikapinya harus dengan penyediaan dan pembuatan obat hewan yang lebih bijak,” tambah Ria.

Resistensi antimikroba

Menutup pertemuan, Fadjar menegaskan resistensi antimikroba tidak terlepas dari penyimpangan penggunaan antimikroba di sektor peternakan. Seperti penggunaan antibiotic growth promotor (AGP). Lainnya adalah penggunaan antibiotik untuk pencegahan tanpa pengawasan dokter hewan.

Serta adanya diagnosa penyakit yang tidak tepat yang berakibat adanya pengobatan yang salah. Hal-hal tersebut harus segera diperbaiki dan diantisipasi untuk keselamatan manusia, hewan, dan lingkungan.

Fadjar juga menyampaikan apresiasi untuk para produsen obat hewan yang telah menerapkan prinsip-prinsip CPOHB dalam produksi obat hewan Indonesia. Tantangan ke depan untuk produksi obat hewan adalah perubahan global dalam metode dan sistem beternak. Juga munculnya penyakit infeksi baru.

Kementan berharap dengan penerapan CPOHB, produsen obat hewan dapat memproduksi lebih banyak lagi jenis obat hewan. Kualitasnya semakin ditingkatkan sehingga akses pasar khususnya pasar mancanegara semakin mudah.

"Saya juga ingin terus mengajak produsen obat hewan Indonesia untuk berperan aktif dalam penyediaan, peredaran, dan penggunaan antimikroba secara bijak dan bertanggung jawab," pungkasnya.

Let's block ads! (Why?)


http://bit.ly/2vaTnRu
April 20, 2019 at 06:42PM from Republika Online RSS Feed http://bit.ly/2vaTnRu
via IFTTT
Share:

0 Comments:

Post a Comment