REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Awal abad ke-20, imperium Cina dan Ottoman sedang dalam masa-masa krisis akibat kepungan kekuatan Barat yang sedang dalam masa-masa puncak kolonialis dan imperialismenya berkat industrialisasi pada abad ke-19. Sementara, Ottoman dan Cina sedang menghadapi masalah di berbagai bidang. Wilayah kekuasaan Ottoman digerogoti dan lepas satu per satu menjadi negara merdeka, seperti Serbia, Bulgaria, Romania, Yunani, Mesir, dan Tunisia.
Dengan melemahnya kekuatan pasukan elite Janissary, ketinggalan teknologi dari Barat, beban utang yang menumpuk, serta banyaknya jalur perdagangan yang dikuasai Barat, membuat Ottoman menjadi negara pesakitan di ujung Eropa. Ottoman tak pernah tunduk langsung di bawah kekuasaan Eropa, tapi wilayah kekuasaannya jatuh satu per satu ke tangan Rusia, Inggris, Austria, dan Prancis. Pasukan Napoleon dengan leluasa memasuki Mesir pada 1798 tanpa perlawanan.
Nasib Cina juga tak jauh berbeda. Dua kali dipermalukan Inggris dalam Perang Candu (1856-1860), Cina juga kehilangan banyak kota pelabuhan yang dikontrol enam negara Barat dan Jepang, termasuk kehilangan Hong Kong ke tangan Inggris dan Vietnam direbut Prancis. Selama abad ke-19, Cina juga kerepotan terhadap berbagai kerusuhan di dalam negeri sepanjang abad ke-19, seperti pemberontakan Taiping (1850- 1864) dan pemberontakan Boxer (1898- 1901).
Kondisi Ottoman dan Cina menyebabkan ketidakpuasan di masing-masing komunitas muda yang mendesakkan agenda reformasi. Para Turki Muda yang terdiri atas birokrat, tentara, seniman, maupun jurnalis yang mendapat didikan Barat memiliki agenda pendirian negara yang lebih sekuler yang mendapat penentangan dari kalangan agamis. Tetapi, gerakan ini tak sempat menimbulkan kerusuhan massa seperti halnya di Cina yang diwarnai berbagai pemberontakan.
Dinasti Qing (Ching) yang berkuasa di Cina sejak pertengahan abad ke-17 sempat menjalankan agenda reformasi pada pertengahan abad ke-19, seperti mengganti sistem rekrutmen pegawai peme rintah dan pembangunan infrastruktur publik, seperti jalan dan bendungan.
Tetapi, langkah itu ternyata sedikit terlambat. Para tuan tanah merasa terancam dengan program reformasi dengan langkah-langkah industrialisasi yang menyebabkan arus urbanisasi penduduk dari desa ke kota. Tetapi, industri di Cina lebih banyak dikuasai pihak asing yang lebih loyal kepada penguasa lokal di banding kepada kaisar.
Kekuasaan Dinasti Turki Usmani yang berkuasa sejak abad ke-14 akhirnya kolaps setelah Perang Dunia II. Ottoman digantikan oleh Republik Turki yang didirikan para kaum nasionalis pimpinan Mustafa Kemal Pasha.
Di Cina, revolusi Xinhai yang digerakkan dokter Sun yat Sen berhasil menggulingkan Dinasti Qing pada 1912. Kekuasaan kekaisaran Cina yang sudah berlangsung selama 2.000 tahun digantikan oleh sebuah republik nasionalis yang berumur pendek yang kemudian berebut kekuasaan dengan golongan komunis.
http://bit.ly/2WVhf7q
April 09, 2019 at 03:45PM from Republika Online RSS Feed http://bit.ly/2WVhf7q
via IFTTT
0 Comments:
Post a Comment