REPUBLIKA.CO.ID, HONGKONG -- Pemerintah Hong Kong meluncurkan Undang-Undang untuk mengubah peraturan ekstradiksi. Perubahan ini mengizinkan pemerintah Hong Kong mengirim rakyat ke Cina untuk diadili.
Perubahan ini dilakukan dengan cepat untuk menghadapi semakin cepatnya berkembangan oposisi yang khawatir langkah ini dapat mengikis perlindungan warga wilayah otonom tersebut. Ribuan orang turun ke jalan memprotes undang-undang baru ini.
Mereka bergabung dengan berbagai pihak yang juga mengkhawatirkan undang-undang ini. Mulai dari pengusaha internasional sampai organisasi kemanusiaan dan beberapa tokoh pro-kemapanan turut serta dalam unjuk rasa tersebut.
Rabu (3/4), seperti dilansir Reuters, Kepala Eksekutif Hong Kong Carrie Lam mengatakan pemerintahannya akan melanjutkan perubahan amandemen. Setidaknya sampai undang-undang itu diperkenalkan ke Parlemen Hong Kong.
Ada sekelompok orang pendukung rancangan undang-undang itu yang juga ikut berdemonstrasi di depan gedung parlemen. Mereka berhadap-hadapan dengan ribuan pengunjuk rasa yang menentangnya. Tapi para pendukung undang-undang baru itu akhirnya bubar tanpa insiden apa pun.
Para penentang perubahan peraturan ekstradiksi dapat mengikis kebebasan dan perlindungan hukum di Hong Kong. Hak yang dijamin dalam proses penyerahan Hong Kong dari Inggris ke Cina pada tahun 1997.
Menurut undang-undang yang dipresentasikan ke dewan Kepala Eksekutif akan memiliki hak untuk memerintahkan ekstradiksi tersangka ke Cina, Makau dan Taiwan. Juga beberapa negara yang tidak masuk dalam perjanjian ekstradiksi dengan Hong Kong.
Sebagai jaminannya, perintah tersebut dapat digugat ke pengadilan. Pemerintah mengatakan orang yang beresiko menghadapi hukuman mati, penyiksaan atau perubahan status politik tidak akan diekstradiksi dari Hong Kong.
Sebelumnya pemerintah Hong Kong menghapus sembilan kejahatan perdata dari undang-undang ini karena tekanan dari para pengusaha. Menteri Keadilan Teresa Cheng mengatakan pengadilan Hong Kong yang akan mengambil peran utama dalam hal ini.
"Sama sekali bukan kasus yang dapat diselesaikan oleh satu orang atau satu organisasi," kata Cheng.
Undang-undang ini akan diperdebatakan di komite dewan Hong Kong. Diprediksi akan lolos pada tahun ini.
Pemerintah berusaha mencari pembenaran atas langkah ini. Mereka mengatakan dengan perubahan ini maka laki-laki muda Hong Kong yang dituduh membunuh pacaranya di Taiwan dapat di ekstradiksi.
Mantan Ketua Patai Democratic Emily Lau, mengatakan walaupun ada jaminannya tapi ada kemungkinan dapat diekstradiksi ke Cina adalah sesuatu yang tidak dapat diterima masyarakat Hong Kong. "Banyak rakyat Hong Kong yang tidak percaya atau yakin terhadap sistem peradilan Cina," kata Lau di stasiun radio milik pemerintah Hong Kong RTHK.
Lau menambahkan tidak mungkin Cina dapat menggelar pengadilan yang adil. Asosiasi Pengacara Hong Kong mengatakan perubahan yang dilakukan pemerintah tidak meringankan perbedaan sistem dengan Cina.
Di bawah Undang-undang Dasar, yang dianut Hong Kong sampai tahun 2047, wilayah otonom itu diizinkan untuk melanjutkan menggunakan sistem peradilan Inggris. Taipan properti Joseph Lau yang kini menjadi buronan mengajukan gugatan hukum ke pengadilan Hong Kong.
Ia mengugat undang-undang baru tersebut. Lau berusaha agar tidak diekstradiksi ke Makau di mana ia dinyatakan bersalah dan mendapat hukuman lima tahun penjara pada tahun 2014 lalu karena korupsi dan pencucian uang.
Mantan wakil Menteri Keamanan Publik Chen Zhimin mengatakan Cina sudah mengeluarkan daftar 300 buronan yang kini berada di Hong Kong. Tapi ia membantah aktivis politik masuk dalam daftar tersebut dengan dalih kejahatan lainnya. Reuters
https://ift.tt/2TUNIZz
April 03, 2019 at 03:51PM from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2TUNIZz
via IFTTT
0 Comments:
Post a Comment