Temuan Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) cukup mencengangkan. Pasalnya, KPK berhasil menyita 84 kardus yang berisi amplop uang, jumlah amplop kurang lebih ada 400 ribu amplop.
Selain kardus ada pula 2 kontainer yang saat ini masih dalam proses penyelidikan apakah juga berisi uang atau tidak. Juru bicara KPK, Febri Diansyah mengungkapkan bahwa barang temuan ini diduga untuk keperluan serangan fajar pada pemilu mendatang.
Serangan fajar masih menjadi hantu dalam pemilu. Baik di tingkat pusat maupun daerah istilah ini tidak pernah luput. Sekalipun baru terungkap oleh KPK, tidak berarti kasus ini baru terjadi.
Dalam pergelaran pemilihan pemimpin baik dari tingkat desa hingga mengerucut keatas pada Pileg, Pilpres dan lain sebagainya, Serangan fajar adalah hal yang lumrah terjadi bak tradisi wajib dalam pemilu. Padahal jalannya pemilu telah diramaikan dengan slogan jujur dan adil. Akan tetapi, pada faktanya para kandidat yang bertarung masih saja mengkhianatinya.
Sistem Demokrasi menganut asas pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Namun mengapa suara rakyat begitu mahal dalam menyukseskan agenda besar demokrasi yakni pemilu?
Sehingga para politisi yang bertarung harus membekali diri dengan sejumlah materi demi mendapatkan ruang di hati para rakyatnya. Bukankah di dalam perhelatan 5 tahun sekali ini maupun selainnya terdapat kepentingan mereka (rakyat)?.
Paradigma ini tidak disadari telah menjadi hal biasa dalam masyarakat hari ini. Sebagian masyarakat seakan-akan amnesia bahwa di sana ada pertaruhan nasib mereka kelak.
Meskipun pada faktanya hal ini juga dilakukan rakyat sebagai luapan kekecewaannya sebab tidak sedikit para elit politik khianat ketika telah duduk di kursi panas kekuasaan. Sehingga muncul narasi di tengah-tengah masyarakat untuk memilih jika ada money-nya, toh juga kalau sudah mendapatkan kursi mereka sudah tidak memikirkan nasib rakyatnya.
Menyalahkan rakyat sepenuhnya, tentu tidak adil rasanya. Rakyat demikian diakibatkan oleh hasil dari bentukan sistem dan kondisi hari ini yang menempatkan materi sebagai tujuan utamanya.
Pada akhirnya, rakyat menjadi materialistik. Apapun aktifitasnya materi menjadi asas dan tujuannya. Di samping itu, mahalnya biaya politik juga turut memberi sumbangsih.
Untuk maju menjadi pemain dalam kontestasi politik, yang bersangkutan harus tebal dompet sebab ia harus siap membayar uang saksi, akomodasi kampanye, mendanai yang akan mensukseskannya nanti di lapangan dan biaya-biaya akomodasi lainnya.
Belum lagi jika ia harus membayar mahar politik jika diminta oleh partai tempat ia berkecimpung. Segala sesuatunya pun membutuhkan uang. Maka jangan heran jika sebagian politisi tertangkap tangan oleh KPK akibat tersandera kasus korupsi.
Permasalahan ini pun sesungguhnya datang dari sistem kita hari ini yang tanpa disadari telah menciptakan jalan kecurangan dalam aktivitas kehidupan. Begitu pula dengan sistem politik. Oleh karenanya, penting untuk kembali meninjau mesin politik kita. Pada bagian manakah yang bermasalah dan masih layakkah digunakan untuk membawa bangsa ini dalam perjalanan panjangnya? Wallahua’lam
Pengirim: Rosmiati asal Kendari, Sulawesi Tenggara
http://bit.ly/2UBlVSp
April 07, 2019 at 03:40PM from Republika Online RSS Feed http://bit.ly/2UBlVSp
via IFTTT
0 Comments:
Post a Comment