REPUBLIKA.CO.ID, DARWIN -- Jumlah lumba-lumba di kawasan perairan Pelabuhan Darwin mengalami penurunan drastis sejak kegiatan konstruksi pabrik dan pipa gas alam cair Inpex dimulai 2011.
Peneliti setempat belum dapat memastikan berapa jumlah pasti penurunan populasi hewan tersebut. Kawasan Pelabuhan Darwin selama ini dihuni tiga jenis lumba-lumba tropis, termasuk jenis yang endemik di Australia Utara. Lumba-lumba khas Australia jenis snubfin yang telah dinyatakan sebagai satwa yang hampir terancam. Selain itu, ada pula lumba-lumba bungkuk dan lumba-lumba hidung botol yang rentan terhadap bunyi keras dan ketersediaan stok ikan di kawasan itu.
Dr Carol Palmer dari Departemen Lingkungan Hidup menjelaskan terjadinya penurunan populasi tersebut sejak 2011.
"Untuk lumba-lumba bungkuk paling sering terlihat di Pelabuhan Darwin, populasinya menurun dari sekitar 40-an menjadi tinggal 20-an," kata Dr Palmer.
Sedangkan lumba-lumba hidung botol dari 28 ekor pada 2011 menjadi 23 pada 2016. Pada 2017 para peneliti tidak dapat menemukan jenis lumba-lumba ini. Adapun lumba-lumba snubfin mengalami penurunan populasi dari 32 ekor pada 2011 menjadi 24 ekor tahun lalu.
Populasi lumba-lumba pesisir ini, kata Dr Palmer, secara alami memang sangat kecil. Mereka berumur panjang, namun lambat dalam berkembang biak. Dr Palmer sejauh ini hanya mampu melakukan pemantauan namun tidak mendapat dukungan dalam meneliti penyebab anjloknya populasi lumba-lumba.
Karenanya, dia mengaku hanya bisa menebak kira-kira apa yang menjadi faktor penyebabnya.
"Secara potensial ini diakibatkan meningkatkan suara bising di bawah laut, ketersediaan mangsa, dan masalah terkait perubahan iklim," kata Dr Palmer.
Program pemantauan jumlah lumba-lumba di sana didanai oleh Inpex, sebagai bagian dari program kompensasi lingkungan senilai 91 juta dolar AS. Kepada ABC, perusahaan gas tersebut menyatakan telah menyalur 2,7 juta dolar AS untuk survei lumba-lumba dan satwa laut lainnya.
"Hasil pemantauan tidak menemukan dampak terhadap lumba-lumba yang terkait dengan kegiatan proyek," kata Inpex.
Inpex menyatakan siap mematuhi semua persyaratan untuk meminimalkan dampak lingkungan proyek mereka terhadap lumba-lumba dan satwa pesisir lainnya. Dr Palmer mengatakan memang tidak ada bukti pembangunan pabrik LNG berdampak penurunan populasi lumba-lumba di Pelabuhan Darwin.
Dia menambahkan penurunan populasi juga terjadi di dua lokasi pemantauan lainnya.
Seorang operator wisata yang bergantung pada satwa liar di kawasan ini meminta pemerintah mendanai riset untuk menentukan penyebab menghilangnya lumba-lumba dari sana. Operatior bernama Jim Smith mengaku saat ini paling hanya bisa melihat lumba-lumba sekali sebulan. Dia menduga hal ini disebabkan berbagai faktor seperti pembangunan industri serta lalu-lintas kapal di sana.
Menanggapi hal itu, Menteri Lingkungan Hidup Northern Territory Eva Lawler menyatakan saat ini tidak ada rencana mendanai penelitian semacam itu. Namun Smith meminta pemerintah berbuat lebih banyak lagi, termasuk melindungi sebagian kawasan pelabuhan sebagai taman laut.
Dr Palmer sendiri berharap agar penelitian terhadap penyebab menghilangnya lumba-lumba dari sana tetap dilakukan.
"Penelitian kelautan sangat sulit, mahal, dan memakan banyak waktu," katanya.
Karena itu, katanya, diperlukan kolaborasi antara perusahaan terkait, pemerintah, dan LSM yang memiliki keahlian.
"Kita tidak boleh mengulangi kesalahan serupa yang terjadi di pesisir timur (Australia)," katanya.
Diterbitkan oleh Farid M. Ibrahim dari artikel ABC Australia.
https://ift.tt/2SgjY9c
November 30, 2018 at 05:34PM from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2SgjY9c
via IFTTT
0 Comments:
Post a Comment