REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Siapa tak kenal Bali? Pulau indah nan menawan ini kerap dinobatkan sebagai surga dunia. Dibalik itu ternyata Bali banyak menyimpan hal-hal unik, salah satunya bahasa Kolok yang menjadi alat komunikasi di Desa Bengkala, sebuah desa kecil di Kabupaten Buleleng, Bali.
Secara harfiah Kolok berarti tuli. Uniknya, di seluruh dunia bahasa Kolok hanya dituturkan oleh 44 orang saja, yang tidak lain adalah warga Desa Bengkala. Dilansir BBC, Selasa (26/2), selama hampir enam generasi sebagian besar populasi Bengkala terlahir tuli. Warga Bengkala menyebut hal itu sebagai kutukan. Namun, menurut para ilmuwan, hal itu terjadi akibat adanya gen resesif DFNB3 yang membuat satu dari 50 bayi di Desa Bengkala terlahir tuli.
Di Bengkala, penduduk normal atau 'Enget' dan penduduk tuli lazim berkomunikasi menggunakan bahasa Kolok. Bagi Enget, mempelajari bahasa Kolok merupakan bentuk kepedulian dan dukungan bagi mereka yang terlahir tuli. Karena dulu, orang tuli di Desa Bengkala sering merasa kesepian karena mereka hanya bisa berkomunikasi dengan satu-dua anggota keluarga saja.
Untuk itulah, menurut Juru Bicara Aliansi Tuna Rungu Bengkala I Ketut Kanta, Desa Bengkala akan menjadi tempat terbaik bagi para tuli. "Jika Anda ditakdirkan terlahir tuli, maka kemungkinan besar tempat ini cocok bagi Anda untuk tumbuh dewasa," kata Kanta.
Uniknya, bahasa Kolok berbeda dengan bahasa isyarat tuli pada umumnya. Misalnya, telunjuk yang menunjuk dengan kaku menunjukkan seorang laki-laki, telunjuk yang dilengkungkan untuk menyebut ayah.
Perempuan dilambangkan dengan dua jari yang membentuk celah sempit. Kosa kata Kolok telah berevolusi secara alamiah dan berkembang terus-menerus seiringnya berkembangnya imajinasi dan kebutuhan berkomunikasi.
Menurut Kanta, di Desa Bengkala baik Kolok maupun Enget diperlakukan sejajar. Misalnya, dalam pemberian upah, tidak ada perbedaan antara penduduk yang tuli atau Kolok dan penduduk normal atau Enget. Namun di luar desa, para Kolok masih mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan.
"Tidak mudah bagi komunitas Kolok mencari pekerjaan di luar desa, dan kadang-kadang sulit mendapatkan upah yang layak seperti pekerja lokal lainnya," kata dia.
Ketut mengaku rutin mengajarkan bahasa Kolok secara gratis kepada anak-anak di Desa Bengkala. Bahkan dia memperjuangkan agar bahasa Kolok menjadi salah satu pelajaran di sekolah. Hal itu dilakukan sebagai dukungan bagi komunitas Kolok.
Desa ini juga memiliki pusat kerajinan yang disebut KEM. Para perempuan Kolok bekerja sebagai penenun. Kelompok ini juga berhasil menarik kedatangan para pelancong yang penasaran ingin menonton seni bela diri Kolok dan tarian khusus yang disebut Janger Kolok.
Ahli Bahasa yang juga kandidat PhD di Universitas Radboud Belanda, Hannah Lutzenberger menyebut bahasa Kolok adalah bahasa yang unik yang memiliki banyak berbeda dengan bahasa isyarat lainnya. "Kata Kolok tidak banyak terpengaruh oleh bahasa Indonesia, bahasa Bali atau bahasa isyarat di luar desa," kata dia.
https://ift.tt/2XqYhqC
February 26, 2019 at 05:33PM from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2XqYhqC
via IFTTT
0 Comments:
Post a Comment