REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peradaban Islam di India berubah seiring melemahnya Kesultanan Mughal. Sejak wafatnya Aurangzeb pada 3 Maret 1707, sultan-sultan yang ada tidak mampu memulihkan stabilitas. Mughal bertahan 150 tahun lamanya sampai infiltrasi kongsi dagang Inggris (EIC) di Anak Benua India.
Dengan berakhirnya pemberontakan Sepoy--sebutan untuk tentara sewaan--pada 1857, tamat pula riwayat imperium ini yang pada masa jayanya mengendalikan hampir seperempat total nilai produksi dunia (gross domestic product/GDP).
Konteks India tak lepas dari pengaruh Eropa awal abad ke-19. Barat toh tidak seluruhnya buruk. Penulis Modern Islam in India (1943), Wilfred Cantwell Smith, menjelaskan konteks kolonialisme Inggris di India.
Negeri Albion menjadikan India sasaran pasarnya yang sedang berkembang pesat sejak Revolusi Industri. Kelas menengah pun bermunculan di India. Mereka terpengaruh nilai-nilai kebudayaan Barat melalui pendidikan formal dan birokrasi.
Fenomena ini juga memantik pergerakan reformasi Islam. Smith menilai, Sayyid Ahmad Khan (1817-1898) merupakan figur utama dari golongan Muslim kelas menengah di India pada masa tersebut.
Gelar sayyid menandakan garis silsilahnya hingga Rasulullah SAW. Leluhur pemilik nama lengkap Ahmad bin Muhammad Muttaqi ini berasal dari Persia yang kemudian hijrah ke India. Kakeknya dari pihak ibu, Khwaja Fariduddin, merupakan pejabat penting di istana Mughal.
Awalnya, keluarga Muhammad Muttaqi tinggal di Delhi tetapi dengan alasan keamanan kemudian pindah ke rumah Fariduddin. Sementara itu, Ahmad Khan masih berusia anak-anak. Dari percakapan dengan kakeknya, dia mulai mengenali problem keterpurukan umat Islam dan keunggulan Barat. Dia memeroleh pelajaran pertama tentang agama dari tokoh tarekat Naqshabandi yang juga sahabat ayahnya, Syekh Ghulam Ali.
Ahmad Khan belajar matematika, geometri, dasar-dasar kedokteran, serta bahasa Arab dan Persia di madrasah setempat. Namun, dia terpaksa putus sekolah saat berusia 18 tahun. Nasib buruk datang setelah kakeknya wafat.
Almarhum selama ini menjadi tulang punggung bagi keluarga Ahmad Khan. Kesedihan bertambah dengan kematian ayahnya beberapa tahun kemudian. Untuk menunjang penghasilan, dia bergabung dengan EIC. Beberapa karib kerabatnya sempat mengecam keputusan ini.
Kariernya bermula sebagai juru tulis rendahan. Kemampuannya mulai diakui secara berangsur-angsur. Beberapa tahun kemudian, dia diangkat menjadi wakil hakim di Fatihpur Sikri. Kinerjanya terus membaik, termasuk ketika dipindahkan ke Bignaur. Aktivitas intelektualnya terus berjalan seiring dengan perjalanan kariernya sebagai birokrat. Total 38 tahun lamanya Ahmad Khan bekerja pada EIC.
Di tengah kesibukannya, dia sempat menulis beberapa buku tentang sejarah lokal. Beberapa di antaranya adalah Tarikh Sarkashi-e Dilca Bijnore (Sejarah Pemberontakan di Distrik Bijnor), Asbâb-e Baghâwat-e Hind (Sebab-sebab Pemberontakan India), dan Atbar al-Sanadid (1847).
(bersambung)
http://bit.ly/2UEhu9r
April 08, 2019 at 06:55PM from Republika Online RSS Feed http://bit.ly/2UEhu9r
via IFTTT
0 Comments:
Post a Comment