REPUBLIKA.CO.ID, KOLOMBO -- Ledakan di berbagai tempat di Sri Lanka, Ahad (21/4) mengusik satu dekade ketenangan warga usai berakhirnya perang saudara. Sri Lanka selama 26 tahun berperang melawan pemberontak Tamil.
Dikenal dengan Kelompok Tamil Tiger, mereka mengincar dengan menyerang bank negara, pusat perbelanjaan, kuil, dan hotel yang ramai dikunjungi turis. Salah satu gereja terdampak pemboman hari Paskah, kemarin berada di kota terbesar Sri Lanka, yakni Kolombo, kota yang juga merupakan tujuan wisatawan asing.
Pasukan militer Sri Lanka berhasil mengalahkan pemberontak Tamil pada 2009. Perang saudara tersebut dipicu pemberontak Tamil ingin memiliki negara sendiri untuk etnis minoritas Tamil. PBB memprediksi terdapat sebanyak 100 ribu orang tewas dalam perang selama 26 tahun kala itu. Namun, panel PBB mengatakan, dalam beberapa bulan terakhir, 45 ribu warga Tamil tewas dalam perang tersebut.
Keluarga para Tamil masih mencari ribuan orang yang hilang selama perang. Mereka berusaha merebut kembali tanah yang masih dipegang militer.
Pemerintah Sri Lanka dan pemberontak Tamil Tiger sama-sama dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Banyak pihak di dalam negeri maupun luar negeri yang meminta penyelidikan soal pelanggaran hak asasi manusia tersebut.
The New York Times menuliskan, kelompok minoritas Tamil sebagian besar adalah Hindu. Tamil perang melawan umat Buddha Sinhala yang menyebabkan perang saudara pada 1980-an. Tamil Tiger mengidentifikasikan dirinya sebagai sekuler.
Sensus Negara pada 2012 mencatat, total populasi Sri Lanka ada sekitar 22 juta. Terdiri dari 70 persen beragama Budha, 12,6 persen Hindu, 9,7 persen Muslim dan 7,6 persen Kristen. Pada Februari-Maret tahun lalu, terdapat serangkaian bentrokan agama antara umat Buddha Sinhala dan Muslim di kota Ampara dan Kandy.
Sri Lanka terkenal dengan keindahan alamnya yang luar biasa. Keindahannya mampu menarik lebih dari dua juta wisatawan pada 2018 saja. Namun, rakyatnya telah lama menghadapi kekerasan.
Negara itu memperoleh kemerdekaan dari pemerintahan Inggris pada 1948 sebagai kekuasaan Ceylon, dan menjadi Republik Sri Lanka pada 1972. Baru-baru ini, Sri Lanka telah terperangkap dalam persaingan regional yang jauh lebih besar antara Cina dan India.
Sri Lanka juga beberapa waktu lalu menghadapi ketegangan politik pada tatanan pemerintahannya. Upaya menggulingkan perdana menteri Sri Lanka menghasilkan krisis konstitusional yang berlarut-larut sehingga menjadi ancaman perpecahan hingga kekerasan. Untuk periode yang singkat, negara tersebut memiliki dua perdana menteri yang diumumkan pada saat yang bersamaan.
Presiden Maithripala Sirisena memecat perdana menteri, Ranil Wickremesinghe, Oktober lalu. Sebagai penggantinya, ia menunjuk mantan presiden dan orang kuat di Sri Lanka, yakni Mahinda Rajapaksa.
Rajapaksa tidak memiliki cukup suara di parlemen untuk menjadikannya perdana menteri, maka Sirisena membubarkan badan tersebut.
Krisis dua bulan membuat pemerintahan negara mandek. Bentrokan bergantian di jalan-jalan terjadi, di mana ribuan pendukung dari masing-masing pihak berbaris, dan begitu pula dengan parlemen, di mana anggota parlemen berkelahi dan bahkan saling melempar bubuk cabai. Rajapaksa akhirnya mundur dan Wickremesinghe tetap menjadi perdana menteri.
http://bit.ly/2VYfKWf
April 22, 2019 at 03:54PM from Republika Online RSS Feed http://bit.ly/2VYfKWf
via IFTTT
0 Comments:
Post a Comment