REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rasulullah SAW menegaskan, setiap orang adalah pemimpin (kullukum ra'in wakullukum mas`ulin'an ra`iyatih). Namun, tidak setiap orang layak menjadi pemimpin dan berhak memegang tampuk kepemimpinan tertinggi sebagai khalifah.
Menurut Ahmad bin Abdullah al-Qalqasyandi, khilafah atau pemerintahan Islam mempunyai kedudukan utama. Bisa dikatakan, jatuh bangun perabadan umat terletak pada seberapa baik para khalifah dan pemerintahan mampu menegakkan panji-panji agama dalam lini kehidupan mereka.
Hal itu dijelaskan Ahmad bin Abdullah al-Qalqasyandi dalam karya monumental terakhirnya yang berjudul Maatsir al-Inafah Fi Maalim al-Khilafah. Al-Qalqasyandi menjelaskan, sebuah kepemimpinan (imamah, khilafah), berdasarkan Mazhab Syafii, dinyatakan sah apabila calon pemimpin telah memenuhi beberapa kriteria.
Pertama, berdasarkan hadis yang diriwayatkan Bukhari dari sahabat Abu Bakrah, seorang pemimpin harus berasal dari kaum pria. Syarat kedua, pemimpin tersebut sudah mencapai akil baligh (dewasa).
Ketiga, memiliki indera penglihatan dan pendengaran yang sehat. Sesuai pendapat yang berlaku dalam Mazhab Syafi'i, tidak diperkenakan tunanetra dan tunarungu menjadi pemimpin.
Syarat nonfisik seorang khalifah, di antaranya pemimpin harus Muslim. Tidak diperbolehkan mengangkat pemimpin dari kalangan kafir, baik kafir sejak awal maupun murtad (keluar dari agama Islam).
Selanjutnya, agar pemimpin dapat dijadikan sebagai teladan, sosok khalifah harus konsisten dalam perkataan dan perbuatannya. Tak hanya itu, pemimpin juga harus tegas, berani, serta memiliki pendirian yang kuat.
Selain itu, pemimpin dituntut memiliki visi dan misi yang jelas sehingga gagasan dan idenya mampu mengarahkan kebijakan pemerintahnya ke arah kemaslahatan bangsa dan negara. Tidak terbatas pada golongan semata.
Syarat yang diajukan al-Qalqasyandi ini tentu saja berbeda dengan syarat yang dikemukakan al-Mawardi dalam kitab al-Ahkam as-Sulthaniyah, yang salah satunya harus berasal dari keturunan Quraisy.
Al-Qalqasyandi menegaskan, syarat-syarat tersebut mutlak dimiliki setiap pemimpin. Dalam kaitan ini, amanat tersebut akan dipertanggungjawabkan oleh khalifah yang bersangkutan. Pendapat ini sebagaimana yang pernah dinukil dari al-Baghawi dalam kitab Syarah as-Sunnah.
http://bit.ly/2VVqJyV
May 27, 2019 at 05:00PM from Republika Online RSS Feed http://bit.ly/2VVqJyV
via IFTTT
0 Comments:
Post a Comment