REPUBLIKA.CO.ID, RAMALLAH -- Pemerintah Cina dan Rusia dilaporkan akan memboikot konferensi ekonomi bertajuk “Peace for Prosperity” yang hendak digelar Amerika Serikat (AS) di Bahrain pada 25-26 Juni mendatang. Hal itu diungkap Duta Besar Cina untuk Palestina Guo Wei saat bertemu penasihat utama Presiden Palestina Mahmoud Abbas, Nabil Shaath di Ramallah, Tepi Barat.
“Membikot konferensi Bahrain datang dalam kerangka perjanjian bilateral Rusia-Cina untuk tidak berpartisipasi di dalamnya,” kata Guo, seperti dilaporkan kantor berita Palestina, WAFA, pada Senin (27/5).
Guo mengatakan, Cina telah menekankan posisinya dalam mendukung perjuangan rakyat Palestina. “Termasuk hak mereka untuk menentukan nasib sendiri dan pendirian negara Palestina yang merdeka dalam perbatasan 1967, dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya,” ujarnya.
Bagian pertama dari rencana perdamaian Timur Tengah, termasuk dalam konflik Israel-Palestina, hendak dirilis AS pada konferensi Peace for Prosperity di Bahrain. Terkait Israel-Palestina, Washington disebut akan mendorong solusi ekonomi, yakni dengan mendorong investasi di Tepi Barat dan Jalur Gaza.
Solusi ekonomi diharapkan dapat mengganti tuntutan politik Palestina, yakni pembentukan negara merdeka, dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya. Dalam konferensi tersebut akan hadir perwakilan pemerintah sejumlah negara dan pengusaha, termasuk mereka yang berasal dari Timur Tengah.
Perdana Menteri Palestina Mohammad Shtayyeh telah mengatakan hanya solusi politik yang dapat menjamin berakhirnya konflik Arab-Israel yang telah berlangsung selama beberapa dekade terakhir. Palestina, kata dia, tak akan menerima solusi ekonomi. “Masalah ekonomi harus menjadi hasil dari solusi politik karena rakyat dan kepemimpinan Palestina tidak hanya mencari peningkatan taraf hidup di bawah pendudukan (Israel)," ujarnya pekan lalu.
“Setiap solusi politik untuk konflik di Palestina hanya akan datang melalui solusi politik yang bertujuan mengakhiri pendudukan dan realisasi hak-hak Palestina di negara yang independen, berdaulat, dan layak di perbatasan 1967, dengan Yerusalem sebagai ibu kotanya dan hak kembalinya pengungsi berdasarkan resolusi PBB serta hukum internasional,” kata Shtayyeh.
http://bit.ly/2wpnYeU
May 28, 2019 at 03:43PM from Republika Online RSS Feed http://bit.ly/2wpnYeU
via IFTTT
0 Comments:
Post a Comment