REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Yoli Hemdi
"Tetapi dia cenderung pada dunia dan memperturutkan hawa nafsu yang rendah. Maka, perumpamaannya seperti anjing, jika kamu menghalaunya ia menjulurkan lidah dan bila kamu membiarkannya dia menjulurkan lidahnya juga. Demikianlah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami" (Al-A'raf: 176).
Ibn Abbas meriwayatkan ayat ini terkait dengan kisah Bal'am bin Ba'ura', seorang pria Yahudi terpandang dengan kedalaman ilmu dan dimuliakan karena pengetahuan agamanya.
Kredibilitas intelektualnya membuat Bal'am mendapat kehormatan diutus oleh Nabi Musa AS guna menyeru Raja Madyan kepada jalan Allah. Cuma setelah berhadapan, sang raja justru menggodanya dengan harta benda dan jabatan terhormat. Tentu saja dengan syarat ia harus bersedia meninggalkan tugas mulia menyeru agama tauhid. Ternyata Bal'am terpesona gemerlap dunia. Sifat gila harta dan tamak jabatan membuatnya gelap mata.
Pribadi seperti itu dikecam Alquran sebagai manusia bermental anjing. Kesamaannya terletak pada dua hal. Pertama, visi kehidupannya hanya berkisar kesenangan duniawi semata. Kedua, diberi peringatan ataupun tidak ia tetap memilih jalan kesesatan. Lidah yang menjulur mencerminkan sifat rakus, sekaligus simbol dari penghambaan diri terhadap nafsu. Rakus merupakan suatu kondisi psikologis di mana seseorang terus-menerus merasa tidak puas dengan apa yang dimiliki berupa materi.
Punya lidah yang suka menjilat kotoran, dan selalu meneteskan air liur karena tiada pernah merasa puas. Diberi ataupun tidak dia tetap saja merasa kurang. Celakanya, hampir setiap episode sejarah melahirkan orang berilmu yang bermental bobrok. Layaknya karakter Bal'am: pribadi yang menggadaikan intelektualitas demi memuaskan syahwat semata. Itulah manusia tercela, budak nafsu yang gelap mata, buta hati, dan mati rasa. Mereka merendahkan martabatnya karena hanyut dalam kesenangan dunia yang amat sementara.
Ayat-ayat Tuhan dipermainkan, direkayasa, dimanipulasi dengan terlebih dahulu mematikan hati nuraninya sendiri. Suatu kali Abu Dzar al-Ghifari kedatangan utusan dari Hubaib bin Abi Muslim. Gubernur Syam itu berkenan memberinya uang 300 dinar untuk dipergunakan sebagai biaya hidup.
Namun, Abu Dzar tegas menolak. Ulama zahid itu berkata kepada sang utusan, "Kembalikan uang itu pada gubernurmu! Apakah dia tidak menemukan orang lain yang lebih pantas menerimanya di sisi Allah? Kami telah merasa cukup dengan tempat berteduh, beberapa ekor domba untuk penghidupan, serta para pelayan yang bersedekah dengan membantu pekerjaan. Karena kami adalah golongan yang takut menerima harta yang berlebihan."
Demikian tegasnya Abu Dzar menolak intervensi penguasa lewat harta, semata-mata menjaga independensinya selaku ulama intelektual. Sifat qana'ah sudah cukup menjadi alasan baginya mempertahankan izzah dengan hidup sederhana. Sebab, Allah meninggikan derajat orang-orang yang memiliki wibawa intelektual yang baik.
http://bit.ly/2YyhsOS
May 21, 2019 at 02:02PM from Republika Online RSS Feed http://bit.ly/2YyhsOS
via IFTTT
0 Comments:
Post a Comment