REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Semangat untuk beribadah terus digencarkan kaum Muslimin warga negara Indonesia (WNI) di Korea Selatan (Korsel). Karena itu, adanya masjid menjadi suatu kebutuhan tersendiri.
Ustaz Irpannudin Rafiudin menceritakan tentang Masjid Boryeong yang terletak di Kota Boryeong, Provinsi Chungcheong Selatan, Korsel. Uniknya, bangunan masjid ini dahulunya adalah tempat ibadah umat agama Buddha yang kini telah dibeli komunitas Muslim di sana.
Inisiator pendirian masjid tersebut adalah kalangan WNI Muslim. Salah satunya, tutur
dai ambassador Dompet Dhuafa itu, ialah Joko yang kini menjabat sebagai ketua dewan kemakmuran masjid tersebut.
"Masjid baru satu tahun berdiri. Dulu ini tempat ibadah agama Buddha, disulap jadi masjid," kata Ustaz Irpan menirukan ucapan Joko kepadanya, saat dihubungi Republika.co.id dari Jakarta, Senin (20/5).
Ustaz Irpan mengatakan, sebelum digunakan sebagai tempat ibadah umat Islam (masjid), bangunan tersebut adalah tempat ibadah agama Buddha. Namun, karena kontraknya habis dan tidak diperpanjang, sejumlah Muslim Indonesia yang tergabung dalam Komunitas Muslim Indonesia (KMI) kemudian menjadikannya sebagai masjid.
Masjid ini diresmikan oleh KMI pada April 2018. Meskipun, masjid ini masih berstatus sewa bangunan dan belum permanen. Tidak hanya para TKI, jamaah di masjid ini juga berasal dari negara lain seperti warga Uzbekistan.
Masjid ini berada di pesisir utara Korea Selatan, dimana jamaahnya umumnya berprofesi tenaga fishing (nelayan). Jarak tempuh dari tempat asal tugas Joko di Masjid An Noor Deajon ialah sekitar 2 jam.
Keberadaan masjid Boryeong tidak terlepas dari peran Joko. Menurut Ustaz Irpan, satu tahun yang lalu Joko berazzam dengan rekan-rekan yang lain di wilayah Boryeong untuk mendirikan sebuah masjid agar TKI yang bekerja di sekitar kota ini bisa dekat dengan sang Pencipta. Joko berharap masjid itu bisa menjadi sarana silaturahim di negeri nan jauh dan kelak menjadi tempat yang diberkahi dan makmur.
Ustaz Irpan menuturkan, Joko yang berasal dari Ngawi, Jawa Tengah, datang ke Korsel di usia 20 tahun. Namun, ia bisa bertahan dan mandiri menjalani hidup di negara itu. Pada 2020, di usianya yang ke-30 ia berencana purna tugas dan tidak akan kembali ke Korsel. Joko, menurutnya, ingin menikah dan menjalani hidup bersama keluarga kecilnya di Ngawi.
"Seperti Amir yang lain di 59 masjid/mushalla di Korsel, Joko berupaya menjaga keshalehan para TKI dan berharap Islam jaya di Negeri Ginseng. Semoga Allah istiqomahkan beliau dan apa yang menjadi harapannya bagi masjid ini mendapatkan kemudahan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala," tambahnya.
Menurut Ustaz Irpan, antusiasme warga Korsel yang mayoritas atheis sangat tidak memiliki ghirah untuk beragama. Jumlah gereja di negeri Ginseng itu banyak, namun kurang makmur karena tradisi beragama yang sangat rendah.
"Berbeda dengan masjid-masjid yang berdiri menjadi makmur dan jumlah umat Islam Korea terus mengalami penambahan," ujarnya.
Selama bulan Ramadhan ini, Ustaz Irpan memang ditugaskan untuk menjadi utusan dai dari Corps Dai Dompet Dhuafa (Cordofa) di Negeri Ginseng tersebut. Ia menuturkan, di bulan Ramadhan masjid menjadi lebih ramai dibanding bulan-bulan lainnya.
Selain shalat 5 waktu berjamaah, masjid juga digunakan untuk kegiatan Iftar (berbuka puasa) dan shalat Tarawih berjamaah di bulan suci ini. Selain itu, adapula kegiatan tadarus (membaca Alquran) bersama. Di Negeri Ginseng ini, durasi puasa dijalani selama sekitar 15 jam. Muslim di sana berbuka puasa pada pukul 19.30 dan melakukan shalat Tarawih pada pukul 21.30. Sementara itu, shalat Subuh dilakukan sekitar pukul 4 kurang.
"Di akhir pekan mulai Sabtu subuh hingga Ahad siang dilakukan beberapa kajian yang diisi oleh para da'i dari Indonesia, salah satunya dari Dompet Dhuafa," katanya.
http://bit.ly/2Qlw01z
May 20, 2019 at 07:12PM from Republika Online RSS Feed http://bit.ly/2Qlw01z
via IFTTT
0 Comments:
Post a Comment