Bulan Ramadhan kembali menyapa. Bulan puasa nan mulia. Berkah dan rahmah berlimpah-limpah sepanjang pelaksanaannya. Puncaknya ketika derajat takwa mampu digenggam oleh individu yang menjalankan ibadah puasa.
Perwujudan takwa skala privat berupa ketundukan terhadap perintah dan larangan Sang Pencipta, baik sebelum, selama dan sesudah Ramadhan. Begitu pula takwa secara kolektif, terpancar dari masyarakat dan Negara yang total mengambil hukum-hukum Tuhan dalam segala lini kehidupan. Maka kemashlahatan hidup akan dinikmati, kemudharatan bisa dihindari. Inilah kemewahan dunia dan akhirat bagi siapa saja yang menyakininya.
Pun takwa adalah obor perubahan. Menyalakan kesadaran masyarakat bahwa kondisi hari ini penuh ketidakberesan yang bersifat sistemik. Jauh dari nilai-nilai Islam. Segera perlu perubahan, mendesak.
Tanpa ingin mengurangi sedikit pun kesucian bulan Ramadhan, kondisi hari ini masih tidak bisa dilepaskan salah satunya dari gelaran Pemilu 2019. Yang menorehkan kisah pilu, dimana KPU mencatat petugas KPPS yang meninggal dunia hingga Sabtu (4/5) lalu bertambah menjadi 440 orang dan yang sakit berjumlah 3.788 orang.
Belum lagi proses rekapitulasi suara Pemilu yang terindikasi sarat kecurangan. Sungguh mengusik akal sehat. Menampar muka. Masihkah lisan ini bisa berkata kita sedang baik-baik saja, seolah tak terjadi apapun?
Lumrah, di tengah suasana khusyuk Ramadhan. Riuh kasak-kusuk masyarakat yang mendamba akan perubahan. Mulai dari kalangan akar rumput, milenial, intektual hingga politisi sepakat perubahan adalah harga mati.
Muncul narasi dari beberapa tokoh bangsa, people power sebagai alternatif solusi. People power adalah sebuah kekuatan masyarakat dengan langkah-langkah inkonstitusional, menuntut penguasa untuk meletakkan jabatannya. Dengan aksi turun jalan sebagai bentuk protes terhadap kezaliman dan ketidakmampuan penguasa menyelesaikan segala problematika Negara.
People power pernah mengisi lembaran sejarah perpolitikan Indonesia, ketika penggulingan rezim Soeharto tahun 1998. Kemudian lahir era baru, era reformasi. Wacana people power ini terus bergulir, kembali masyarakat terpolarisasi. Mendukung atau membenci. Dengan taruhan masa depan Negara dan generasi.
Sebagai Muslim, yang meyakini bahwa Rasulullah saw. adalah teladan terbaik :
"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah." (QS. al-Ahzab: 21).
Wajib bagi kita berpegang atas risalah yang dibawa Rasulullah. Termasuk dalam hal perubahan, Rasulullah ketika membangun pemerintahan Islam tidak menerapkan metode people power. Namun melalui dakwah politis dan pemikiran. Tanpa kekerasan.
People power akan berbahaya tanpa ada kesadaran umum di tengah masyarakat mengenai perubahan yang hakiki. Perjuangan yang membabi buta. Berpotensi menimbulkan konflik dan perpecahan.
Mengambil spirit Ramadhan, jadikan momentum kali ini menuju perubahan hakiki. Bukan perubahan karena dorongan emosional. Takwa sebagai dasarnya. Karena suara terbanyak bukan menjadi legitimasi perbuatan itu benar dan layak untuk dilakukan, apalagi diperjuangkan.
Pengirim: Lutfi Sobiroh, tinggal di Kota Santri Pasuruan, Jatim
http://bit.ly/2LxJCIe
May 09, 2019 at 03:19PM from Republika Online RSS Feed http://bit.ly/2LxJCIe
via IFTTT
0 Comments:
Post a Comment