REPUBLIKA.CO.ID, BANTUL – Universitas Ahmad Dahlan (UAD) dan Pesantren Mahasiswa KH Ahmad Dahlan (Persada) menggelar seminar nasional bertajuk Sastra Islami. Seminar menghadirkan penulis kenamaan, Asma Nadia.
Gelaran sukses menarik ratusan pengagum sastra untuk memenuhi Masjid Islamic Center UAD, Ahad (25/11) pagi. Selain dapat memperluas pemahaman soal sastra islami, mereka tentunya berkesempatan berbincang langsung dengan Asma Nadia.
Sosok Asma memang memiliki banyak pengagum. Selain penulis best seller yang karya-karyanya banyak difilmkan, Nadia merupakan motivator, pendiri Forum Lingkar Pena (FLP) dan pengurus Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI).
Walau beragam, karya-karyanya dirasa begitu lekat karena banyak menghadirkan situasi nyata yang dihadapi masyarakat. Melalui tulisannya, Nadia banyak pula memberikan pemahaman lebih luas tentang serba-serbi keluarga Islami.
Dalam paparannya, Nadia mengungkapkan, semua tulisannya menjadi satu jihad yang coba dilakukan untuk mengubah stigma buruk yang seakan terus dilekatkan kepada Islam. Keresahan itu jadi dorongan semangat untuk Nadia terus melahirkan karya.
Ia menekankan, begitu banyak yang bisa diubah melalui sastra islami, dan salah satu peran utamanya mengembalikan pemahaman masyarakat tentang Islam. Maka itu, Nadia merasa, penting bagi generasi muda Muslim sendiri memahami sastra Islami.
"Dan beban ini terlalu berat untuk ditanggung seorang penulis, kita butuh squad, kita butuh batalion penulis, yang bisa menulis untuk membuat perubahan," kata Nadia.
Nadia menerangkan, sastra islami jika dipahami sederhana merupakan karya tulis yang mengandung nilai-nilai Islam. Pertanyaan yang muncul tentu saja apakah karya-karya sastra Islami boleh ditulis seorang di luar Muslim.
Bagi Nadia, misalnya, lagu Heal the World memiliki lirik yang islami, begitu menginspirasi walau itu diciptakan non-Muslim. Kemudian, sastra Islami tentu mengandung nilai pelajaran Islam, dan menghindari narasi fisik yang detail.
Jika begitu, bolehkah menuliskan kisah-kisah seperti yang bertema pemerkosaan? Ternyata boleh. Nadia membagikan trik-triknya menulis kisah-kisah seperti itu, yang tidak lain menggunakan metafora atau perumpamaan-perumpamaan.
Itu bisa dilihat dari buku Surga yang tak Dirindukan 1, yang kata orang miliki karakter cukup kuat. Menurut Nadia, novel itu sendiri membutuhkan waktu menulis sampai cetak selama tujuh tahun.
Walau ada adegan pemerkosaan di sana, penulis sastra islami harus merancang dan memastikan tulisan itu aman dibaca siapa saja. Termasuk, agar tidak menimbulkan gejolak apa-apa ketika yang membacanya merupakan anak-anak.
"Itu pilihan-pilihan yang dibuat penulis Muslim yang ingin menulis fiksi islami, kita memilih cara menyajikan, saya tidak akan menulis kisah perzinahan atau pemerkosaan dengan gaya erotis yang membuat orang bangkit syahwat," ujar Nadia.
Tulisan itu harus dipastikan pula tidak menebarkan keburukan orang lain. Bagi Nadia, begitu banyak kebaikan-kebaikan yang diajarkan Islam dan sangat bisa ditanamkan penulis-penulis yang mengusung prinsip sastra Islami.
Tapi, ia mengingatkan, orang yang membaca karya-karya fiksi ingin mendapatkan hiburan. Artinya, walau tetap harus memiliki nilai-nilai kebaikan, harus bisa dibalut tidak verbal, yang membuat pembacanya tidak merasa membaca ceramah.
Buku Bidadari untuk Dewa misalnya, ada kisah perjuangan tentang harta, tahta dan wanita. Dari sana, Nadia ingin mengajak anak-anak remaja menghabiskan masa mudanya dengan sangat produktif, salah satunya seperti sosok Dewa Eka Prayoga.
Contoh lain, di Assalamualaikum Beijing, Nadia menulis seorang Muslimah yang tiba-tiba kena penyakit anti-phospolipid syndrome (APS). Ia ingin menegaskan kalau dalam keadaan terbatas siapa saja tetap bisa memberikan inspirasi.
Untuk itu, Nadia menekankan, menulis tidak cuma bisa menjadi tiket untuk mendunia. Tapi, menulis juga bisa menjadi tiket ke surga. Tentunya, jika dilakukan secara ikhas dan diniatkan tidak lain untuk ibadah.
Bahkan, ia menambahkan, teman-teman penulis fiksi Islami itu sebelum menulis terbiasa mengawalinya dengan berwudhu dulu. Nadia sendiri turut membiasakan dirinya menulis bismillah ketika memposting tulisan di media sosial.
"Makanya kalau penulis sastra Islam jangan menulis yang jelek, tulis sebagus-bagus kamu, sebab selama itu dicetak ulang, masih ada di toko buku, masih ada yang baca, selama itu insya Allah pahala kebaikannya akan mengalir ke kamu," kata Nadia.
https://ift.tt/2BvS6Ze
November 25, 2018 at 04:28PM from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2BvS6Ze
via IFTTT
0 Comments:
Post a Comment