Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika.
Selepas siang datang berita dari sahabat saya di Prancis. Melalui media sosial dia mengabarkan tulisan seorang rekannya penulis Azizah Chesneau dan ilustrasi sebuah acara dari fotogrfer Joe Tanjung. Artikelnya menarik dan unik. Mengenai prosesi 'Grebeg Maulid' yang biasanya di gelar di Kraton Yogyakarta pada dua hari silam yang ternyata juga digelar juga di Prancis, sebuah negeri yang sangat jauh dari kota yang jadi pusat kebudayaan Jawa. Tulisan ini dimuat dalam laman 'Suratdunia.com'.
Tulisan selengkapnnya begini: Di tengah-tengah dinginnya udara musim gugur, tanggal 24 November 2018, warga Paris mendapatkan suguhan unik yaitu rekonstruksi prosesi Grebeg Maulud.
Rekonstruksi prosesi Grebeg Maulud yang diselenggarakan atas prakarsa Institut des Cultures d’Islam (ICI) dan Komunitas Seni 7+ serta didukung oleh Kedutaan Besar Indonesia di Prancis, asosiasi-asosiasi Indonesia di Paris seperti Srikandi, Pantcha Indra, IKFI, Réseau Indonésie, IDNF, Pasar Malam dan Joged Nusantara. Kesuksesan acara ini tidak lepas dari aktifnya partisipasi sekitar 40 masyarakat diaspora Indonesia di kota Paris, yang secara aktif mempersiapkan perlengkapan prosesi, menari serta menyiapkan kue-kue jajanan tradisional.
Acara ini berhasil menarik perhatian warga yang memadati ruangan ICI serta mengikuti prosesi gunungan sepanjang 260 m yang diarak dari gedung ICI Léon menuju gedung ICI di Goutte d’Or.
*******
Pada prosesi Grebeg Mualud itu, diawali oleh, penari Herman Sitepu sebagai cucuk lampah sang pembuka jalan. Iring-iringan an terdiri dari barisan penari dan pemusik di bawah arahan artisitik dan musik oleh Kadek dan Christophe Moure, yang sangat aktif berkiprah dalam mempromosikan dan melestarikan seni tari dan gamelan Indonesia di Prancis.
Para peserta 'Grebeg Mualud' itu berkostum tradisional kebaya dan beskap lurik mengiringi dan memanggul dua gunungan. 'Gunungan Jaler' terbuat dari sayur-mayur yang dibeli di pasar lokal Château Rouge dan 'Gunungan Estri' terbuat dari makanan jadi sumbangan masyarakat Indonesia. Hadir pada kesempatan tersebut, Koordinator Fungsi Penerangan Sosial Budaya dan Pariwisata di KBRI Prancis, Bapak Rully F. Sukarno, yang memberikan kata sambutan.
Untuk tahu lebih jauh apa yang dimaksud 'Grebeg Maulud; itu mari kita simak ringkasan latar belakang munculnya prosesi tersebut. Kata ‘grebeg’ atau ‘gumrebeg’ sendiri berasal dari bahasa Jawa yang berarti riuh, rebut, ramai, atau berasal dari kata 'anggarebeg'yang berarti mengiringi pejabat atau raja dengan megah dan meriah.
Kini grebeg bermakna iring-iringan atau prosesi. Upacara ini diyakinkini berakar pada tradisi kerajaan di Jawa sejak jaman kerajaan Majapahit (abad XIII-XV) sebelum datangnya Islam di Jawa. Prosesi ini juga merupakan upaya pihak raja untuk menjalin hubungan dengan rakyat melalui pemberian sayur-mayur hasil bumi dan makanan.
Maka dalam prosesi 'Grebeg Maulud' itu muncul rangkaian sayur-mayur dan makanan yang disusun membentuk kerucut sehingga disebut gunungan. Gunungan ini merupakan simbol sedekah kerajaan kepada rakyatnya dan cara untuk menunjukkan kemakmuran dan kesuburan tanah kerajaan.
Dan setelah Islam berkembang dengan berdirinya kerajaan Islam Demak, acara Grebeg tetap dipertahankan sabagai salah satu rangkaian acara Sekaten, yang diselenggarakan tiap tahunnya untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW yang lahir pada tanggal 12 Rabi'ul Awal atau Mulud dalam bulan ketiga tahun Jawa.
Upacara Grebeg Maulud ini hingga saat ini oleh keraton Yogyakarta tetap mempertahankannya melalui rangkain acara sekaten (berasal dari kata Syhadatain/ kalimat syahadtat) yang meliputi Sekaten Sepisan (Sekaten Pembuka) dan ditutup dengan Garebeg di halaman Masjid Gedhe Kauman. Acara puncak peringatan sekaten ini ditandai dengan Grebeg Muludan di bawa dari area kraton Yogyakarta menuju Masjid Besar (Masjid Kauman) yang tak jauh dari Alun Alun Utara KratonYogyakarta.
Secara subtansial, grebeg memiliki peran penting dalam ranah kebudayaan dan lokalitas Jawa. Sekaten bekerja sebagai suatu sistem integratif antara akulturisme budaya Jawa dengan nilai-nilai ke-Islaman. Integrasi nilai kejawen dengan nilai ajaran islam menghasilkan suatu sistem kepercayaan yang membumi dan mudah diterima masyarakat (Jawa).
Menurut Sandy Huynh dan Upie Mengual dari komunitas Seni 7+, penyelenggaraan Grebeg Maulud ini bertujuan untuk memperkenalkan prosesi sebagai salah satu kegiatan budaya Indonesia yang merupakan akulturasi antara kebudayaan lokal Hindu (upacara selamatan) dengan kebudayaan Islam (Maulid nabi). Prosesi ini menarik di tengah maraknya aksi sebagian masyarakat di Indonesia untuk menolak beberapa kegiatan budaya dan adat yang dianggap bertentangan dengan nilai agama, Grebeg Maulud di Paris tidak semata sarana untuk memperkenalkan budaya Indonesia di Perancis, tetapi merupakan upaya aktif menunjukkan dukungan terhadap keberagaman dan kelestarian adat tradisi lokal Indonesia.
Kegiatan ini mengedepankan nilai-nilai budaya dan artistik Indonesia yang tercermin mulai dari persiapan hingga acara berakhir, yaitu : nilai gotong-royong dan kebersamaan, toleransi beragama, upaya pelestarian tradisi dan wujud ekspresi estetik masyarakat Indonesia.
« Kami juga memperkenalkan kue tradisional atau jajanan pasar untuk mempromosikan cita rasa makanan Indonesia. Bagi sebagian besar pengunjung, ini merupakan kali pertama mereka merasakan makanan Indonesia seperti wajik, dadar gulung, lumpia dan lemper.» lanjut panitia mengakhiri wawancara.
Indonesia sendiri sebagai negara dengan jumlah pemeluk agama islam terbanyak di dunia, mendapat perhatian tersendiri dari para kurator di Institut des Cultures d'Islam (ICI). Sebelumnya ICI dengan kurator Bénénice Saliou, telah mengundang beberapa seniman dan kolektif seniman dari Indonesia, untuk berpartisipasi pada pameran koletif berjudul JAVA- Art Enerfy bertempat di ICI.
https://ift.tt/2QiGkJL
November 26, 2018 at 04:32PM from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2QiGkJL
via IFTTT
0 Comments:
Post a Comment