REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim kuasa hukum Baiq Nuril, Joko Jumadi mengatakan, sampai saat ini pihaknya masih belum bisa menyiapkan novum (bukti baru) untuk mengajukan peninjauan kembali (PK) terkait kasus pelecehan seksual secara verbal yang dialami oleh kliennya, Baiq Nuril. Menurut Joko, hal itu masih terkendala karena belum diterimanya salinan putusan kasasi dari Mahkamah Agung (MA).
"Kami masih menunggu salinan putusan kasasi dulu, baru kami bisa tahu masalahnya sebenarnya ada di mana, sehingga kami juga tahu memerlukan novum yang seperti apa," katanya kepada Republika, saat dihubungi, Kamis (22/11).
Tetapi, sambung Joko, pihaknya juga sudah mencoba menemui juru bicara MA, Suhadi, untuk meminta salinan putusan kasasi tersebut bisa segera dikeluarkan. Agar proses pengajuan PK dapat berjalan. Dari hasil pertemuan itu, Joko berharap dalam waktu dekat bisa menerima salinan tersebut.
"Tadi malam saya sudah ketemu dengan juru bicara MA, Pak Suhadi. Beliau mengatakan, semoga dalam waktu dua sampai tiga hari ini salinan putusan kasasi itu bisa sampai di Mataram, NTB," imbuhnya.
Hal itu dibenarkan oleh juru bicara MA, Suhadi. Ia menyebutkan, salinan putusan itu telah jadi dan siap dikirimkan ke tim kuasa hukum Baiq Nuril dan Kejaksaan Negeri Mataram, Nusa Tenggara Barat. "Sudah siap (salinan putusan kasasi). Hari ini atau paling lambat besok kita kirim ke NTB," ujar Suhadi, saat dihubungi Republika, Kamis (22/11).
Baca juga: MA: Hakim Putus Perkara Baiq Nurul Berdasarkan Fakta Hukum
Baiq Nuril yang merupakan mantan staf tata usaha di SMAN 7 Mataram, mengaku mendapat pelecehan pada pertengahan 2012. Saat itu, Nuril masih berstatus sebagai pegawai honorer di SMAN 7 Mataram.
Satu ketika dia ditelepon oleh atasannya berinisial M. Perbincangan antara M dan Nuril berlangsung selama kurang lebih 20 menit. Dari 20 menit perbincangan itu, hanya sekitar lima menit yang membicarakan soal pekerjaan. Sisanya, M malah bercerita soal pengalaman seksualnya bersama dengan wanita yang bukan istrinya.
Perbincangan itu pun terus berlanjut dengan nada-nada pelecehan terhadap Nuril. Terlebih, M menelepon Nuril lebih dari sekali. Nuril pun merasa terganggu dan merasa dilecehkan oleh M melalui verbal. Tak hanya itu, orang-orang di sekitarnya menuduhnya memiliki hubungan gelap dengan M.
Merasa jengah dengan semua itu, Nuril berinisiatif merekam perbincangannya dengan M. Hal itu dilakukannya guna membuktikan dirinya tak memiliki hubungan dengan atasannya itu. Kendati begitu, Nuril tidak pernah melaporkan rekaman itu karena takut pekerjaannya terancam.
Hanya saja, ia bicara kepada Imam Mudawin, rekan kerja Baiq, soal rekaman itu. Namun, rekaman itu malah disebarkan oleh Imam ke Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Mataram.
Diketahui, penyerahan rekaman percakapannya dengan M, hanya dilakukan Nuril dengan memberikan ponsel. Proses pemindahan rekaman dari ponsel ke laptop dan ke tangan-tangan lain sepenuhnya dilakukan oleh Imam.
Merasa tidak terima aibnya didengar oleh banyak orang, M pun melaporkan Nuril ke polisi atas dasar Pasal 27 Ayat (1) Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Padahal rekaman tersebut disebarkan oleh Imam, namun malah Nuril yang dilaporkan oleh M.
Kasus ini pun berlanjut hingga ke persidangan. Setelah laporan diproses, Pengadilan Negeri Mataram memutuskan Nuril tidak bersalah dan membebaskannya dari status tahanan kota.
Kalah dalam persidangan, Jaksa Penuntut Umum mengajukan banding hingga kasasi ke Mahkamah Agung. Singkat cerita pada 26 September 2018 lalu, MA memutus Nuril bersalah dan menghukumnya dengan pidana enam bulan penjara dan denda Rp 500 juta.
https://ift.tt/2A8tofq
November 22, 2018 at 03:17PM from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2A8tofq
via IFTTT
0 Comments:
Post a Comment