REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengkritik keras upaya pemerintah membentuk Tim Hukum Nasional. Pemerintah tidak seharusnya turut campur dalam penegakan hukum pidana.
Direktur Eksekutif ICJR, Anggara menilai pembentukan Tim Hukum Nasional menunjukkan ketidakmampuan pemerintah dalam mengelola isu politik di media dan media sosial. ICJR mempertanyakan inisiatif dari pemerintah ini.
"Sebab sebenarnya sudah ada lembaga yang memiliki kewenangan untuk menentukan apakah suatu ucapan atau tindakan seseorang merupakan suatu tindak pidana atau bukan, yakni Kejaksaan dan Kepolisian," kata Anggara dalam keterangan tertulis kepada wartawan, Rabu (8/5).
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), menurutnya, sudah secara jelas dikatakan bahwa Penyelidik bekerjasama dengan Penuntut Umum. Mereka memiliki kewenangan untuk segera melakukan tindakan yang diperlukan dalam rangka mencari dan menemukan apakah suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana dilakukan penyidikan.
"Sikap yang dikeluarkan pemerintah ini juga menunjukkan ketidakpercayaan Pemerintah terhadap sistem peradilan pidana yang selama ini sudah ada," terangnya
ICJR mengingatkan, bahwa kritik yang disampaikan di muka umum terkait dengan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah adalah hal yang wajar. Hal itu mengingat Indonesia merupakan negara demokrasi, yang jelas dalam konstitusinya menjunjung tinggi kebebasan dalam mengeluarkan pikiran baik secara lisan dan tulisan.
"Pasal 28 E ayat (3) UUD 1945 secara eksplisit menjamin kebebasan mengeluarkan pendapat. Pasal 22 ayat (3) UU Undang-Undang (UU) No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia secara lebih dalam mengatur mengenai kebebasan berekpresi tersebut yang secara internasional juga dijamin dalam Pasal 19 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU 12 tahun 2005," jelasnya.
Karena itu, pembentukan Tim Hukum Nasional untuk merespons berbagai isu di media dan media sosial, dalam pandangan ICJR bagian dari ketidakmampuan pemerintah untuk mengelola berbagai isu yang muncul di media dan media sosial.
ICJR mengingatkan, bahwa penggunaan kekuasaan dan penggunaan hukum pidana yang berlebihan memiliki potensi besar untuk membahayakan kebebasan berekspresi dan berpendapat di Indonesia.
"Berdasarkan atas hal ini, maka ICJR merekomendasikan agar pemerintah mengkaji ulang dan membatalkan rencana pembentukan tim hukum nasional ini," imbau Anggara.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Wiranto, mengklarifikasi pernyataannya terkait pembentukan Tim Hukum Nasional. Tim tersebut dibentuk bukan sebagai badan baru, tetapi sebagai tim bantuan di bidang hukum untuk pengendalian masalah hukum dan keamanan nasional.
"Itu bukan tim nasional, tapi tim bantuan di bidang hukum yang akan menyupervisi langkah-langkah koordinasi dari Kemenko Polhukam," ungkap Wiranto di kantornya, Gambir, Jakarta Pusat, Selasa (7/5).
Tim itu nantinya, kata Wiranto, akan menjadi tim bantuan hukum yang ada di bawah Kemenko Polhukam. Tim yang akan membantu dalam rangka sinkronisasi, harmonisasi, dan pengendalian masalah hukum dan keamanan nasional.
Tim tersebut akan berisi para profesor, doktor, dan pakar hukum dari berbagai universitas dan lembaga. Mereka akan membantu Kemenko Polhukam untuk memilah tindakan mana saja yang bisa dan tidak bisa dianggap melanggar hukum.
Wiranto menerangkan, saat ini banyak aktivitas-aktivitas yang seharusnya sudah masuk kategori melanggar hukum dan ditindak tetapi tidak ditindak karena jumlahnya yang begitu banyak. Banyaknya jumlah aktvitas itu mempersulit pemilahan secara singkat mana saja yang melanggar dan tidak melanggar hukum.
"Nah kita butuh tim bantuan itu. Bukan berarti secara formal dan secara organisasi kemudian kita abaikan, tidak. Kita memang ada, pemerintah punya lembaga-lembaga hukum yang sudah formal dalam ketatanegaraan Indonesia kan ada," tuturnya.
Menurut mantan Panglima ABRI ini, tim tersebut akan melihat permasalahan yang ada dari sudut pandang masyarakat, yakni masyarakat intelektual yang memiliki pemahaman terhadap hukum. Berbeda dengan kepolisian, kejaksaan, dan lembaga hukum formal lainnya.
"'Ayo, coba Anda nilai sendiri aktivitas masyarakat seperti ini sudah melanggar hukum atau tidak?' Kalau mereka mengatakan, 'Oke Pak, sudah melanggar hukum itu,' Oke kita bertindak. Jadi kita kompromikan (dahulu)," terang dia.
http://bit.ly/2vJstAj
May 08, 2019 at 07:23PM from Republika Online RSS Feed http://bit.ly/2vJstAj
via IFTTT
0 Comments:
Post a Comment