Monday, May 6, 2019

Pengendalian Resistensi Antimikroba Menjadi Kebutuhan Negara

Resistensi antimikroba menjadi isu global.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Resistensi antimikroba membutuhkan perhatian berbagai pihak. Meski lima kementerian memberikan atensi terhadap hal tersebut, masyarakat tetap harus mewaspadainya agar tidak meluas.

Resistensi antimikroba merupakan masalah lintas-sektor yang membutuhkan kerja sama berbagai pihak. Rencana Aksi ini disusun oleh lima Kementerian, yakni Kementerian Kesehatan, Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pertahanan, serta Kementerian Keuangan. Pada implementasinya, berbagai kementerian dan lembaga lainnya juga ikut terlibat, khususnya dalam peningkatan kesadaran masyarakat.

Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba Kementerian Kesehatan Hari Paraton menjelaskan, Mengendalikan resistensi ini bukanlah kewajiban, tetapi kebutuhan sebuah negara. "Oleh karena itu kita harus memiliki rencana untuk bertindak yang melibatkan berbagai sektor,” katanya di Jakarta pada Senian (6/5).

Bahaya resistensi ini adalah isu kesehatan global yang kini dampaknya sudah terlihat di Indonesia. Rencana Aksi Nasional Pengendalian Resistensi Antimikroba periode 2017-2019 mendapat apresiasi dari Penasihat Regional WHO untuk Asia Tenggara Klara Tisocki. 

“Rencana aksi ini mencakup lima tujuan yang luas dan komprehensif. Selanjutnya, Indonesia mungkin dapat lebih fokus pada beberapa tujuan utama dengan implementasi yang lebih terukur,” jelasnya. 

Adapun lima tujuan strategis tersebut adalah (1) peningkatan kesadaran dan pemahaman masyarakat serta tenaga kesehatan; (2) pembangunan sistem surveilans nasional AMR; (3) higienitas, pencegahan dan pengendalian infeksi; (4) optimalisasi penggunaan antimikroba dengan bijak; (5) mendorong investasi berkelanjutan untuk riset dan pengembangan obat, vaksin, dan intervensi lain. 

Sepanjang pertemuan evaluasi yang berlangsung pada tanggal 2 dan 3 Mei di Jakarta, perwakilan kementerian dan lembaga membahas kegiatan apa saja yang sudah dilakukan. Mereka juga membahas tantangan yang dihadapi serta menyusun rencana aksi baru untuk periode 2020-2024. 

Pertemuan ini diselenggarakan atas dukungan FAO, WHO dan pendanaan dari USAID. Kementerian dan lembaga telah melakukan berbagai kegiatan, meskipun pengukuran dampaknya perlu diperkuat. Beberapa pencapaian ini antara lain terbitnya Peraturan Menteri Pertanian nomor 14 tahun 2017 yang melarang penggunaan antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan hewan ternak. Juga peningkatan kesadaran masyarakat, akademisi dan tenaga kesehatan melalui kampanye GEMA CERMAT dan kerja sama dengan 11 Fakultas Kedokteran Hewan di seluruh Indonesia. 

Team Leader Unit Khusus Badan Pangan dan Pertanian PBB di bidang Kesehatan Hewan (FAO ECTAD Indonesia) James McGrane mengajak seluruh pihak terkait untuk segera bertindak mengendalikan resistensi antimikroba. Berbagai studi telah dilakukan baik di tingkat global maupun nasional, kini saatnya fokus pada aksi dan solusi.

“Tenaga kesehatan hewan dan manusia berada pada garda terdepan harus mempraktekkan penggunaan antibiotik yang bijak, sementara masyarakat dan peternak harus mengikuti anjuran tenaga kesehatan,” ujarnya

Pembahasan RAN PRA 2020-2024 ini bertujuan untuk memperkuat kerjasama lintas sektor dalam mengendalikan dan mengurangi laju AMR di Indonesia, serta melibatkan lebih banyak lagi kementerian dan lembaga yang terlibat seperti Kemenko PMK, Kemenko Perekonomian, KLHK, Kemenristekdikti, Bappenas, dan BPOM.

Let's block ads! (Why?)


http://bit.ly/2H2BGdu
May 06, 2019 at 07:14PM from Republika Online RSS Feed http://bit.ly/2H2BGdu
via IFTTT
Share:

0 Comments:

Post a Comment