REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketika hendak membeli suatu produk atau berbuka puasa di restoran yang tak memiliki label halal, sebagian Muslim sering kali menjadikan klaim "no pork, no lard, no alcohol" sebagai tolok ukur kehalalan. Sudah tepatkah pandangan itu?
Ketua Umum Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT) Syifa Fauziah menilai penting bagi Muslim untuk tidak sekedar terpaku pada bahan ketika memilih produk halal. Konsumen Muslim juga perlu lebih menyadari bahwa ada beragam titik kritis dalam proses produksi yang dapat membuat bahan halal menjadi tidak halal.
"Halal itu jangan cuma hanya kita tahunya tidak ada babinya, tidak ada alkoholnya," jelas Syifa dalam diskusi media Sasha Beyond Halal, di Jakarta.
Syifa mengatakan kesadaran untuk menggunakan produk yang terjamin halal sudah sepatutnya diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, tak semua Muslim sudah memiliki kesadaran atau pengetahuan yang cukup untuk memahami hal ini. Oleh karena itu, momen Ramadhan saat ini bisa menjadi awal yang baik bagi Muslim untuk lebih meningkatkan kesadaran akan penggunaan produk halal.
"Kita harus mengkaji kembali apa yang kita gunakan, terutama untuk yang kita konsumsi sehari-hari, supaya kita lebih waspada," ujar Syifa.
Direktur LPPOM MUI Lukmanul Hakim mengatakan, halal itu jika kaitanya dengan produk maka ia tidak boleh mengandung bahan-bahan yang dilarang secara Islam. Produk tersebut hanya mengandung bahan-bahan yang halal dan suci.
Lukmanul mengungkapkan setidaknya ada tiga hal yang perlu diperhatikan untuk menilai kehalalan suatu produk. Hal yang pertama adalah bahan-bahan yang digunakan. Produk yang halal tidak boleh menggunakan bahan-bahan yang mengandung unsur haram menurut syariat Islam.
Selain bahan-bahan yang digunakan, proses produksi suatu produk juga harus terjamin kehalalannya. Alasannya, kontaminasi dengan bahan-bahan yang tidak halal bisa terjadi di dalam proses produksi.
"Misalnya (proses produksi) menggunakan pelarut alkohol. Alkohol ini ada dua sumber," kata Lukmanul.
Lukmanul mengatakan salah satu sumber alkohol adalah minuman keras. Penggunaan alkohol yang berasal dari minuman keras seperti ini hukumnya dalam Islam adalah haram dan najis.
Setelah bahan dan proses produksi, hal lain yang perlu diperhatikan untuk menentukan kehalalan produk adalah konsistensi. Suatu produk tidak boleh hanya menggunakan bahan dan proses yang halal saat sedang menjalani penilaian sertifikasi halal saja. Perusahaan atau prodosen suatu produk juga perlu memberikan sistem jaminan halal.
"Halal bukan hal main-main dan tidak boleh dimain-mainkan," jelas Lukmanul.
http://bit.ly/2K5jzWs
May 27, 2019 at 02:14PM from Republika Online RSS Feed http://bit.ly/2K5jzWs
via IFTTT
0 Comments:
Post a Comment