REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menginginkan agar perdebatan publik dalam berbagai hal, termasuk dalam bidang ekonomi harus bersifat mendalam. Menurutnya, saat ini perdebatan dalam kampanye pilpres masih dangkal.
"Perdebatan di publik masih sangat dangkal, ini sayang sekali," kata Bhima Yudhistira dalam lokakarya di Bogor, Jawa Barat, Sabtu (25/11).
Menurutnya, seharusnya pada saat ini ada diskursus yang lebih sehat dalam membahas isu-isu perekonomian yang diangkat kedua calon. Bhima berpendapat bahwa salah satu permasalahan yang ada sekarang antara lain terkait dengan data statistik yang kerap menjadi sasaran tembak karena dinilai tidak independen oleh sejumlah pihak, padahal hal tersebut tidaklah demikian adanya.
Bhima mencontohkan, sebenarnya isu ekonomi bisa dibuat secara berkualitas dan juga menarik, misalnya terkait dengan isu penurunan daya beli masyarakat yang mengemuka beberapa waktu lalu, terkait dengan menurunnya kinerja sejumlah bidang.
Padahal bila dilihat lebih dekat dapat diketahui bahwa untuk bidang teknologi ternyata mengalami peningkatan, sedangkan untuk bidang pakaian jadi mengalami penurunan, sehingga dapat disimpulkan jangan-jangan ini karena pergeseran kebutuhan ekonomi.
Dengan kata lain, pada saat ini aktivitas perekonomian, yang sekarang kerap didominasi generasi milenial, cenderung bergeser ke "leisure economy". Sehingga, isu yang ada juga diharapkan dapat mendorong aktivitas perekonomian yang lebih selaras dengan "leisure economy", dan pengusaha juga mengetahuinya.
Sebelumnya, analis politik dari Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago memandang kampanye pilpres hingga saat ini masih dangkal gagasan dan isu substantif. Pangi melihat kampanye yang dilakukan dua kandidat capres-cawapres justru menampilkan lelucon politik saling sindir.
"Mereka saling sindir dengan melontarkan diksi dan frasa seperti politik sontoloyo, politik kebohongan, politik genderuwo, tampang boyolali, budek/buta, tempe setipis ATM, impor ugal-ugalan, dan lain-lain," kata Pangi.
Dia menekankan diksi dan frasa tersebut pada akhirnya hanya membuat bising dan memekakkan ruang opini publik dan sama sekali tidak memberikan pendidikan politik.
https://ift.tt/2qZezrE
November 25, 2018 at 04:30AM from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2qZezrE
via IFTTT
0 Comments:
Post a Comment