REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh: Febrian Fachri (@febrianfachri)
Wartawan Republika
Terlalu berat beban yang dipikulkan kepada pelatih berjuluk Baby Face itu di Manchester United.
Laju Manchester United begitu kencang sejak kedatangan legenda Ole Gunner Solskjær menjadi pelatih kepala menggantikan Jose Mourinho. Sentuhan pelatih Norwegia itu memberikan United delapan kemenangan beruntun di Liga Primer Inggris dan Piala FA. Efek Solskjær itu tentu mencengangkan bagi penikmat sepak bola.
Semua tahu MU kehilangan karakter asli ketika ditangani Jose Mourinho. Terlebih, sejak awal musim ini, United sulit menang, minim gol, dan bermain buruk. Solskjær datang, lalu persoalan berangsur terselesaikan.
Ruang ganti Iblis Merah kembali ceria. Potensi pemain kembali tereksplorasi maksimal di lapangan. Tidak ada lagi pertikaian antara pelatih dan pemain. Yang paling menimbulkan harapan besar dari fan United adalah kembalinya karakter asli gaya permainan the Red Devils.
United kembali bermain menyerang, tanpa harus peduli bermain di markas tim mana. Tidak seperti pola permainan yang diperagakan Mourinho, yang memaksakan bermain bertahan dan membalas dengan serangan balik.
Namun, pekerjaan rumah yang harus dientaskan Solskjær tidak hanya sebatas sampai di situ. United merupakan klub besar dan punya sejarah panjang di Inggris maupun Eropa. Rentetan kemenangan masih jauh dari kata cukup.
Toh, kenyataannya enam kemenangan beruntun di Liga Primer tidak berpengaruh pada posisi United di tabel klasemen. United masih tertahan di peringkat enam —posisi yang belum membuat United tampil di kompetisi Eropa musim depan.
Posisi itu sama sejak Solskjær datang. United masih berada di bawah Chelsea dan Arsenal yang sama-sama bersaing untuk mendapatkan peringkat empat sebagai tiket menuju zona Liga Champions musim depan.
NYARIS TERHENTI
Catatan sempurna Solskjær itu nyaris berakhir di tangan Burnley pada laga Liga Inggris tengah pekan ini. Burnley hampir saja memalukan Solskjaer di Old Trafford andai bek tengah Victor Juergen Nilsson Lindeluef tidak membantu serangan kala injury time.
Alhasil, United bermain imbang 2-2 dengan Burnley. Hasil tersebut juga menandakan hari itu untuk kali pertama Solskjær gagal mempersembahkan kemenangannya sebagai pelatih sementara United.
Ibarat mesin yang sedang berputar begitu kencang, tiba-tiba berhenti begitu saja, biasanya akan berdampak pada kerusakan meski tidak parah. Kurang lebih begitu lokomotif United di bawah komando Solskjær sekarang. Hasil seri melawan Burnley itu tentunya patut menjadi bahan evaluasi dalam menuntaskan paruh kedua musim ini.
Meski masih berstatus pelatih interim, tugas Solskjær sangat berat. Ia ditargetkan membawa United ke posisi empat besar. Namun, pahlawan United saat merebut treble winner 1999 itu ingin musim ini dapat diakhiri dengan gelar juara. Demi menjadi juara Liga Inggris, boleh jadi akan terasa sulit untuk memangkas jarak 16 poin dengan Liverpool.
Namun, peluang meraih gelar sesungguhnya masih tetap terbuka. Di Liga Champions, United masih bertahan dan harus melewati adangan Paris Saint-Germain (PSG) di babak 16 besar. Lalu, di Piala FA, United terus melaju sampai putaran kelima, ditunggu oleh Chelsea.
Tentunya, menetapkan target jangka pendek tidaklah salah. Itu sangat berguna supaya pemain dan suporter memelihara rasa optimistis. Namun, agaknya United boleh menoleh ke belakang, tepatnya periode sekitar 32 tahun lalu.
BELAJAR DARI FERGUSON
Pada 1986, United baru saja mendatangkan Sir Alex Ferguson dari Skotlandia. Ketika itu, Fergie dihadapkan dengan PR yang sama rumitnya dengan Solskjaer sekarang. Ia memegang tim yang sedang kehilangan jati diri.
Awal mula memulai tugas di Old Trafford, Fergie tidak langsung menyulap tim itu menjadi tim papan atas dan menjadi juara. Fergie membutuhkan waktu hingga empat tahun untuk mencicipi gelar juara pertamanya bersama United.
Gelar pertama itu diraihnya "hanya" dari ajang Piala FA musim 1989-1990. Dua tahun setelah itu, barulah direngkuh trofi Piala Liga. Lalu, pada musim 1992-1993, Fergie memberikan Iblis Merah gelar Liga Primer Inggris.
Singkatnya, butuh empat tahun bagi Fergie membawa gelar juara pertama dan butuh tujuh tahun untuk mewujudkan gelar Liga Inggris. Solskjær hanya punya waktu kurang dari enam bulan.
Tentu semua itu terasa tidak adil bagi Solksjaer. Terlalu berat beban yang dipikulkan kepada Baby Face. Ia sepertinya masih butuh waktu untuk mengeratkan soliditas internal antarpemain.
Andai nanti jadi mengontrak mantan pelatih Molde itu secara permanen, United harus memberinya kesempatan meningkatkan jam terbang sebagai pelatih. Maklumlah, Solskjær masih tergolong sebagai orang baru—terlebih di pentas Liga Primer Inggris.
Jadi, teruslah bersabar untuk bisa menyaksikan kembali United kepada masa kejayaan seperti era Ferguson pada masa lalu. Mampukah Solskjær mewujudkan semua ekspektasi itu? Inilah yang tentunya akan terus dinanti para "pemuja" Setan Merah di seluruh belahan bumi. Lanjutkan, Ole!
http://bit.ly/2BapQLd
February 02, 2019 at 05:34PM from Republika Online RSS Feed http://bit.ly/2BapQLd
via IFTTT
0 Comments:
Post a Comment