REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nabi Muhammad SAW berhasil menjual beberapa ekor unta. Namun tak berselang lama, setelah si pembeli berlalu, beliau baru teringat di antara unta yang dijualnya dalam kondisi cacat. Rasul segera menyusul pembeli untanya dan mengambalikan uang yang telah diterimanya. Ia meninggalkan teladan bagi Muslim yang menjalankan perniagaan.
Limpahan laba tak boleh membutakan nurani seorang pedagang hingga berlaku tak jujur kepada pembelinya. Rasul menekankan agar mengungkapkan keadaan sebenarnya barang dagangan yang ditawarkan kepada pembeli. "Tak halal bagi seseorang menjual, kecuali menerangkan kekurangan atau cacat yang ada barang itu."
Said bin Abdullah, salah seorang mitra dagang Muhammad, mengagumi kejujuran yang melekat pada suami Siti Khadijah itu. Ia mengungkapkan, Muhammad merupakan sebaik-baik kawan-tidak memperdaya dan tidak pula mendebat. Kisah Said terungkap dalam hadis riwayat Abu Daud.
Menurut Muhammad Sopian dalam karyanya, Manajemen Cinta Sang Nabi, kejujuran merupakan cermin kemuliaan akhlak Rasul. Ini melahirkan rasa senang dan menumbuhkan kepercayaan bagi siapa saja yang bertransaksi dan menjalin kemitraan dengan beliau.
Transparansi dalam berbisnis tecermin pula dari sikap Rasul yang menentang curang dalam menakar atau menimbang suatu barang. Ia menyatakan, tidak ada yang diperoleh suatu kelompok yang mengurangi timbangan atau takaran, kecuali mereka akan didera kerugian.
Dengan demikian, mestinya tak semata keuntungan yang dituju oleh para pedagang Muslim. Lebih jauh dari itu, seorang Muslim dalam berniaga juga menimbang keberkahan harta yang diperolehnya melalui perdagangan. Jangan sampai, ujar Rasul, harta berlimpah tetapi tiada berkah.
Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadis dari Hakim bin Hizan tentang pemasalahan ini. "Kedua belah pihak dalam sebuah transaksi akan menuai berkah, tetapi jika mereka menyembunyikan sesuatu dan berdusta, berkah pada transaksi yang mereka lakukan tersebut terhapus."
Dalam bisnis, semua mesti berlangsung berdasarkan kerelaan kedua belah pihak, tak diizinkan adanya pemaksaan. Prinsip ini mengiringi perilaku bisnis Nabi. Prinsip yang sama diaplikasikan pada kemitraan bisnis sehingga semua pihak yang terlibat sama-sama rela dalam sebuah perkongsian.
Lebih jauh, Muhammad SAW memandang perniagaan bukan sekadar kecakapan menjual barang dan mendapatkan keuntungan, melainkan ia menganggapnya sebagai salah satu cara untuk beribadah dan berbuat baik kepada orang lain. Ini terlihat dari kemudahan-kemudahan yang sering ia terapkan dalam menjalani bisnis baik kepada mitra maupun konsumennya.
Ia tak pernah mematok bagi hasil atau harga barang secara berlebihan kepada mitra bisnis dan pembelinya. Ia bermurah hati. Ini dapat dilihat saat ia membebaskan pembayaran utang seseorang yang terbukti tak mampu melunasi utangnya. Allah memerintahkan seorang Muslim berlaku demikian.
Jika orang yang berutang dalam kesulitan, berilah tangguh pembayarannya hingga orang tersebut memiliki kelapangan. Tentu, akan lebih baik bila menyedekahkannya. Di sisi lain, Rasulullah mengingatkan agar orang yang telah mampu membayar utang segera melunasinya.
Mereka yang telah mampu membayar tetapi menundanya, dianggap sebagai orang yang zalim. Di sisi lain, Rasul menyajikan contoh bagus terhadap harta yang dimilikinya. Beliau gemar bersedekah kepada mereka yang membutuhkannya. Dari perniagaan yang dijalankannya, Muhammad ingin menyatakan hal mendasar bagi seorang Muslim.
Ia mencintai pekerjaannya dengan menjalankannya dengan sungguh-sungguh dan usahanya itu demi menopang kehidupannya. Tujuannya, agar tak meminta atau bergantung pada orang lain. Ia merasakan kebahagiaan saat mampu menghasilkan sesuatu dari usahanya sendiri. "Tak ada satu pun makanan yang lebih baik daripada yang dimakan dari hasil keringat sendiri," jelas Rasulullah.
http://bit.ly/2YutjgZ
May 13, 2019 at 05:00PM from Republika Online RSS Feed http://bit.ly/2YutjgZ
via IFTTT
0 Comments:
Post a Comment