REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) resmi memberikan perlindungan kepada Baiq Nuril, mantan guru honorer di sebuah SMAN di Mataram, yang ditetapkan sebagai terdakwa kasus perekaman percakapan mesum. LPSK resmi memberikan perlindungan kepada Baiq Nuril setelah Nuril menandatangani surat permohonan perlindungan kepada LPSK di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Rabu (21/11).
Pada kesempatan tersebut, Baiq Nuril didampingi oleh anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan Rieke Diah Pitaloka, anggota Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan Masruchah, dan anggota tim kuasa hukum Baiq Nuril. Sedangkan, dari LPSK hadir, Wakil Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo dan Askari Razak.
Menurut Hasto Atmojo, perlindungan yang dilakukan LPSK terhadap saksi dan korban biasanya dilakukan setelah saksi dan korban memohon perlindungan. Namun, pada kasus hukum yang dihadapi Nuril, LPSK melihat proses hukum yang dilakukan bergeser dari pokok persoalan dan Nuril sesungguhnya selain menjadi terdakwa juga menjadi korban.
"LPSK menawarkan perlindungan kepada Baik Nuril maupun keluarganya. Kami sudah menyiapkan formulir surat permohonannya," kata Hasto.
Ia menjelaskan, dalam perspektif LPSK, penawaran ini sebagai bentuk proaktif dalam memberikan perlindungan sekaligus mendorong agar proses hukum yang dihadapi Baiq Nuril selesai sesuai dengan proporsinya. "LPSK juga akan menawarkan kepada saksi lainnya, yang tidak berani mengungkapkan kesaksiannya karena ketakutan," katanya.
Tim LPSK, menurut Hasto, akan mendatangi Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), untuk memberikan perlindungan, agar para saksi berani memberikan kesaksian. Pada kesempatan tersebut, Baiq Nuril berharap adanya perlindungan dari LPSK membuat dirinya lebih tenang dalam menghadapi proses hukum yang dihadapinya.
Sementara itu, anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan Rieke Diah Pitaloka menyambut positif perlindungan dari LPSK terhadap Baiq Nuril. Menurut Rieke, Baiq Nuril adalah korban sehingga perlu mendapat perlindungan.
Rieke juga menyatakan kaget atas putusan Mahkamah Agung yang menganulir putusan Pengadilan Negeri Mataram, padahal pada putusan Pengadilan Negeri Mataram, telah memenangkan Baiq Nuril karena dari fakta-fakta persidangan, pelanggaran terhadap UU IT tidak terbukti dan majelis hakim menolak semua tuduhan.
Baca juga: 'Serangan Balik' Baiq Nuril demi Tegaknya Hukum Berkeadilan
Baiq Nuril yang merupakan mantan staf tata usaha di SMAN 7 Mataram, mengaku mendapat pelecehan pada pertengahan 2012. Saat itu, Nuril masih berstatus sebagai pegawai honorer di SMAN 7 Mataram.
Satu ketika dia ditelepon oleh atasannya berinisial M. Perbincangan antara M dan Nuril berlangsung selama kurang lebih 20 menit. Dari 20 menit perbincangan itu, hanya sekitar lima menit yang membicarakan soal pekerjaan. Sisanya, M malah bercerita soal pengalaman seksualnya bersama dengan wanita yang bukan istrinya.
Perbincangan itu pun terus berlanjut dengan nada-nada pelecehan terhadap Nuril. Terlebih, M menelepon Nuril lebih dari sekali. Nuril pun merasa terganggu dan merasa dilecehkan oleh M melalui verbal. Tak hanya itu, orang-orang di sekitarnya menuduhnya memiliki hubungan gelap dengan M.
Merasa jengah dengan semua itu, Nuril berinisiatif merekam perbincangannya dengan M. Hal itu dilakukannya guna membuktikan dirinya tak memiliki hubungan dengan atasannya itu. Kendati begitu, Nuril tidak pernah melaporkan rekaman itu karena takut pekerjaannya terancam.
Hanya saja, ia bicara kepada Imam Mudawin, rekan kerja Baiq, soal rekaman itu. Namun, rekaman itu malah disebarkan oleh Imam ke Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Mataram.
Diketahui, penyerahan rekaman percakapannya dengan M, hanya dilakukan Nuril dengan memberikan ponsel. Proses pemindahan rekaman dari ponsel ke laptop dan ke tangan-tangan lain sepenuhnya dilakukan oleh Imam.
Merasa tidak terima aibnya didengar oleh banyak orang, M pun melaporkan Nuril ke polisi atas dasar Pasal 27 Ayat (1) Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Padahal rekaman tersebut disebarkan oleh Imam, namun malah Nuril yang dilaporkan oleh M.
Kasus ini pun berlanjut hingga ke persidangan. Setelah laporan diproses, Pengadilan Negeri Mataram memutuskan Nuril tidak bersalah dan membebaskannya dari status tahanan kota.
Kalah dalam persidangan, Jaksa Penuntut Umum mengajukan banding hingga kasasi ke Mahkamah Agung. Singkat cerita pada 26 September 2018 lalu, MA memutus Nuril bersalah dan menghukumnya dengan pidana enam bulan penjara dan denda Rp 500 juta.
https://ift.tt/2Fy4ETZ
November 21, 2018 at 07:15PM from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2Fy4ETZ
via IFTTT
0 Comments:
Post a Comment