REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Imam Shamsi Ali*
Sesungguhnya defenisi puasa itu secara fikih sangat sederhana. Dalam buku-buku fikih, kita menemukan defenisi itu sebagai berikut:
"Menahan diri dari makan, minum, dan hubungan suami isteri serta semua yang dapat membatalkannya dari terbitnya fajar kedua hingga terbenam matahari karena Allah SWT."
Dari defenisi itu, dipahami bahwa substansi dasar puasa adalah “menahan”. Kata menahan, yang dalam bahasa agamanya disebut al-imsaak, inilah yang menjadi esensi dari puasa.
Dalam Alquran, misalnya, menahan diri dari berbicara juga diistilahkan shoum. Seperti yang disebutkan dalam Alquran pada kisah Maryam binti Imran yang dilarang bicara setelah melahirkan (Nabi Isa AS).
“Inni nadzartu lirRahmani shouma.” (Sesungguhnya Aku telah berjanji atau nadzar kepada Allah untuk menahan diri/shaoum.) Makna "menahan diri" di sini adalah menahan diri dari berbicara.
Rasulullah SAW juga menasehatkan agar di saat seseorang yang berpuasa diajak bertengkar atau berkelahi hendaknya berkata: "Saya sedang berpuasa" (inni shoo-im). Tentu kata shoo-im atau puasa di sini dimaksudkan 'menahan diri.'
Dengan demikian, jelaslah bahwa intisari dari puasa adalah al-imsak atau menahan. Yaitu, menahan diri atau ego dan hawa nafsu dari melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT dan Rasul-Nya.
Kesimpulan dari semua itu adalah bahwa objek terutama dan terpenting dari semua pembahasan tentang puasa ada pada “pengendalian hawa nafsu”.
(Bersambung)
http://bit.ly/2ZYpDpj
May 07, 2019 at 04:23PM from Republika Online RSS Feed http://bit.ly/2ZYpDpj
via IFTTT
0 Comments:
Post a Comment