Thursday, November 22, 2018

Mengapa Garuda Indonesia Selalu Merugi? Ini Kata KPK

Perusahaan milik negara seharusnya memberikan keuntungan terhadap negara.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap alasan PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) yang sering merugi setiap tahunnya. Hal tersebut diungkapkan Wakil Ketua KPK Laode M Syarif dalam diskusi di Gedung KPK Jakarta, Kamis (22/11).

Meskipun hanya memberikan contoh kasus, Syarif menuturkan adanya dugaan  mark up di Garuda saat pembelian mesin pesawat dari perusahaan asal Inggris, Rolls-Royce. Hal tersebutlah yang membuat Garuda selalu merugi. 

Dia menyebutkan, misalnya harga satu pesawat Rolls-Royce itu misalnya Rp 100 ribu. Sebuah perusahaan yang baik tentu akan menawar lebih rendah harga itu. 

Akan tetapi, kata Laode, yang terjadi justru oknum Garuda menaikkan harga dari tawaran awal. “Lu naikin deh Rp 110 ribu. Tapi nanti Rp 10 ribu kirim lagi ke rekening saya. Jadi mereka selalu mark up. Makanya kita rugi terus," kata Syarif. 

Menurut Syarif, perusahaan milik negara seharusnya memberikan keuntungan terhadap negara. Sayangnya, perusahaan justru membeli barang tersebut dengan harga yang sengaja dimahalkan, kemudian kelebihan harganya itu masuk ke kantong pribadi.

"Itu contoh-contoh perusahaan, memakai perusahaan tapi dia bertingkah laku sebagai penjahat terorganisir," tutur Syarif.

Sejauh ini, KPK telah menetapkan dua orang tersangka dalam kasus dugaan suap pembelian pesawat dan mesin pesawat Airbus A330-300 milik PT Garuda Indonesia.

Dua tersangka tersebut adalah mantan Dirut PT Garuda Indonesia, Emirsyah Satar dan Beneficial Owner Connaught International, Soetikno Soedarjo. Namun, keduanya belum dilakukan penahanan oleh KPK.

Dalam kasus ini, Emirsyah diduga telah menerima suap dari perusahaan mesin Rolls Royce terkait pengadaan mesin A330-300. Suap tersebut diberikan Rolls Royce kepada Emirsyah dalam bentuk uang dan barang melalui perantara Soetikno Soedarjo.

Atas perbuatannya, Emirsyah Satar disangkakan melanggar pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 64 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun ditambah dengan pidana denda paling sedikit Rp200 hingga Rp1 miliar.

Sementara Soetikno Soedarjo selaku pihak pemberi disangkakan melanggar pasal 5 ayat (1) huruf a atau pasal 5 ayat 1 huruf b atau pasal 13 No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 64 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana paling singkat 1 tahun dan lama 5 tahun ditambah denda paling sedikit Rp50 juta hingga Rp250 juta.

Let's block ads! (Why?)


https://ift.tt/2zjTaxF
November 22, 2018 at 09:17PM from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2zjTaxF
via IFTTT
Share:

0 Comments:

Post a Comment