REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Industri Olefin, Plastik, dan Aromatik Indonesia (Inaplas) menyebut penerapan cukai dan pelarangan plastik di sejumlah daerah, bukan solusi hadapi persoalan sampah plastik. Mereka menyebut solusinya adalah perbaikan manajemen sampah plastik.
"Sebenarnya yang jadi masalah sekarang itu bukan sampah plastiknya tapi manajemen sampahnya," kata Sekretaris Jenderal Inaplas Fajar Budiyono ketika dihubungi Republika, Ahad (16/12).
Fajar menegaskan, Inaplas sepakat untuk mengurangi sampah plastik ke laut. Namun, dia menyebut, solusinya bukan melalui pengenaan cukai plastik. Menurut Fajar, pengelolaan sampah plastik perlu memanfaatkan sistem Management Sampah Zero (Masaro).
Masaro, kata dia, berupaya menyelesaikan masalah sampah dari sumbernya seperti di rumah tangga dan pasar. Caranya, sampah akan dipilah lebih dulu di hulu, sehingga memudahkan proses pengolahan selanjutnya. Dengan adanya Masaro, kata dia, beban kerja Tempat Pembuangan Akhir (TPA) akan berkurang lantaran sampah sudah lebih dulu dipilah dan diolah.
"Pemda juga ke depannya tidak perlu lagi menganggarkan biaya untuk transportasi sampah dan juga pembangunan TPA. Itu anggarannya bisa dialokasikan untuk riset atau pengembangan pengolahan sampah baik teknologi maupun manajemennya," kata Fajar.
Fajar mengatakan, skema Masaro telah didorong oleh Inaplas, dan juga asosiasi lain seperti pemulung, pengepul, dan industri daur ulang. Beberapa proyek percobaan telah dikembangan Inaplas dengan menggandeng sejumlah daerah seperti Indramayu, Cilegon, Pekanbaru, Wonosobo, dan Tangerang.
Dia mengatakan, penerapan cukai atau pelarangan plastik justru berpotensi mengganggu perputaran ekonomi dari sampah plastik, yang sudah ada di Indonesia saat ini. Dia menyebut, ratusan ribu pemulung, ribuan pengepul, dan ratusan industri pengolahan plastik akan terimbas negatif akibat kebijakan tersebut.
Saat ini permintaan konsumen pada plastik masih relatif tinggi. Sementara, jika suplai bahan baku plastik dari pemulung berkurang justru industri terpaksa melakukan impor.
Lebih lanjut, kata dia, pengawasan pengenaan cukai kantong plastik juga perlu kejelasan. Ini lantaran 60 persen peredaran kantong plastik berasal dari pasar tradisional dan 40 persen dari pasar modern.
Selain itu, dia menilai saat ini belum ada standar yang jelas terkait dengan standar kantong plastik ramah lingkungan atau yang bisa terurai. Hal ini terkait dengan wacana pemerintah untuk memberikan variasi tarif cukai pada produsen yang ramah dan tidak ramah lingkungan.
"Nah, ini mau memungut cukainya nanti bagaimana?" kata Fajar.
Dengan dasar itu, Inaplas menilai kunci pengelolaan sampah plastik yang baik adalah dengan memajukan perputaran ekonomi. Fajar mengatakan, Indonesia sudah memiliki pola perputaran tersebut yang dimulai dari sampah plastik dibuang, diambil pemulung, dikumpulkan pengepul, diolah industri daur ulang, hingga masuk ke industri kantong plastik.
"Itu sudah bagus tapi kita ingin itu prosesnya bisa lebih baik," kata Fajar.
Salah satu kendala saat ini, ujarnya, adalah pemilahan sampah. Ini lantaran sampah dari hulu saat ini belum terpilah dengan baik. Dia menilai, jika sampah sudah terpilah maka nilai tambah ekonominya bisa meningkat.
"Kita ingin mengubah paradigma lama kumpul, angkut, buang menjadi pilah, angkut, jual, proses," kata Fajar.
https://ift.tt/2CgGolq
December 16, 2018 at 06:31PM from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2CgGolq
via IFTTT
0 Comments:
Post a Comment