REPUBLIKA.CO.ID, PURWOKERTO -- Pengamat ekonomi Universitas Indonesia, Faisal Basri, menilai tekanan ekonomi yang dihadapi Indonesia pada tahun 2019, akan sangat berat. Untuk itu, dia pesimis target pertumbuhan yang dipatok pemerintah sebesar 5,3 persen, akan sulit dicapai.
"Saya kira, pertumbuhan ekonomi tahun 2019 tak akan berbeda jauh dari tahun ini. Kalau tahun ini hanya 5 persen, tahun depan saya perkirakan hanya sekitar 4,9 persen, atau turun 0,1 persen,'' jelas Faisal sesuai menghadiri seminar yang diselenggarakan ISEI (Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia) Kabupaten Banyumas dan Bank Indonesia Purwokerto, di Purwokerto, Kamis (27/12).
Dia menyebutkan, tekanan ekonomi yang dihadapi untuk memacu pertumbuhan ekonomi ini, datang dari berbagai aspek. Antara lain, adanya kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia yang menyebabkan suku perbankan juga menjadi lebih tinggi, kondisi LDR (Loan Deposit Ratio) perbankan yang saat ini naik hampir 200 persen, harga komoditi ekspor yang tidak beranjak naik, serta tekanan kenaikan harga minyak dunia.
''Mudah-mudahan saja, kondisi ini tidak mendorong laju inflasi lebih tinggi dari sebelumnya. Hanya masalahnya, dalam kondisi likuditas perbankan makin ketat, biasanya akan mendorong inflasi juga semakin tinggi,'' katanya.
Demikian juga dengan harga minyak, Faisal menyebutkan, harga minyak saat ini memang masih bertahan dalam level yang rendah rendah. Namun dia memperkirakan, pada tahun 2019, harga minyak akan mengalami kenaikan pada kisaran rata-rata 60-65 dolar AS per barel.
Menghadapi berbagai persoalan ini, Faisal menyebutkan ada berbagai hal yang bisa dilakukan pemerintah. ''Klasiknya, kalau kita tak bisa berlari kencang karena ada masalah di jantung, maka yang bisa kita lakukan adalah menata kembali berbagai sektor yang ada agar kondisi jantung bisa semakin baik,'' katanya.
Beberapa hal yang bisa dilakukan, antara lain melakukan konsolidasi perbankan, menunda kegiatan-kegiatan yang tidak bersifat prioritas, serta membenahi sektor produksi untuk menekan defisit perdagangan.
Dia menilai, tujuan pemerintah membangun jalan tol di berbagai daerah untuk menekan biaya logistik, merupakan hal yang tidak terlalu tepat. ''Bagaimana pun, distribusi barang melalui darat, tetap saja membutuhkan biaya tinggi karena membutuhkan BBM, ongkos tol dan kapasitas angkut kendaraan. Meskipun pengiriman barang dilakukan melalui jalan tol,'' katanya.
http://bit.ly/2Aj33MF
December 27, 2018 at 06:17PM from Republika Online RSS Feed http://bit.ly/2Aj33MF
via IFTTT
0 Comments:
Post a Comment