REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Majelis tinggi parlemen Jepang menyetujui undang-undang (UU) tentang perizinan penyerapan tenaga kerja asing. UU disahkan karena Negeri Matahari Terbit mengalami kekurangan tenaga kerja lokal.
Berdasarkan UU yang telah disetujui, Jepang akan menerbitkan sekitar 260-345 ribu visa untuk tenaga kerja asing. Visa tersebut berlaku selama lima tahun. Penyerapan tenaga kerja asing dimulai pada 2019.
Para tenaga kerja asing itu nantinya akan difokuskan untuk mengisi 14 sektor bisnis yang mengalami kekurangan pegawai paling parah, antara lain pengasuhan, konstruksi, pertanian, dan pembuatan kapal.
Baca juga, Lebih dari 28 Persen Populasi Jepang Berusia Tua.
Dari ratusan ribu visa yang diterbitkan, Jepang membuat kategori khusus untuk pekerja berketerampilan tinggi. Selain diperkenankan memboyong keluarga, mereka pun diberi izin tinggal tak terbatas di sana.
Namun UU itu menuai kritik dari sejumlah masyarakat, termasuk partai oposisi. Koichiro Goto, direktur perusahaan pengasuhan manula di Tokyo mengaku tak sepakat dengan UU Penyerapan Tenaga Kerja Asing.
"Untuk menerima banyak imigran akan meruntuhkan batas negara tunggal kita," katanya, dikutip laman New York Times, Jumat (7/12).
Kendati demikian, dengan rasa berat hati, ia tetap menerima UU tersebut. Sebab Goto tak menyangkal bahwa ada penyusutan jumlah tenaga kerja di negaranya. Hal itu dia rasakan ketika mencari pekerja melalui iklan, tapi tak kunjung ada yang mengajukan lamaran. "Jika kami tak dibantu oleh pekerja asing, bisnis ini tidak akan bertahan," ujarnya.
Disahkannya UU penyerapan tenaga kerja asing menandai perubahan signifikan pemerintahan Perdana Menteri Shinzo Abe yang berhaluan kanan. Sebab sebelumnya ia kerap menyatakan ada banyak hal yang harus dilakukan sebelum Jepang menerima arus imigran.
Namun Abe tak dapat memungkiri adanya penyusutan jumlah tenaga kerja di negaranya akibat populasi yang menurun. Ia sempat menyiasati hal itu dengan menganjurkan agar lebih banyak kaum perempuan di tempat kerja, menundah masa pensiun pegawai, dan menggunakan robot untuk pekerjaan yang bersifat statis.
Namun langkah itu tak berhasil membuat Jepang terbebas dari kelangkaan tenaga kerja. Hal tersebut memberi tekanan kepada Abe dan pendukung konservatifnya untuk menerima bahwa tantangan demografi bangsa tidak dapat diselesaikan hanya dengan langkah internal.
Akhirnya pada sesi parlemen bulan lalu, Abe mengakui kekurangan tenaga kerja adalah masalah mendesak. Jepang, kata dia, membutuhkan pekerja asing sesegera mungkin.
Dengan tidak adanya imigrasi, populasi Jepang diproyeksikan menyusut sekitar 16 juta orang atau hampir 13 persen selama 25 tahun ke depan. Sementara proporsi mereka yang berusia di atas 65 tahun diperkirakan meningkat dari seperempat penduduk ke lebih dari sepertiga. Khusus untuk bisnis pengasuhan saja, para pengusaha Jepang memperkirakan membutuhkan tambahan 377 ribu pekerja pada 2025.
Profesor politik dan masyarakat Jepang di Universitas Hamburg Gabriele Vogt menilai, disahkannya UU Penyerapan Tenaga Kerja Asing bukan berarti menjadikan Jepang negara multikultural.
"Ini bukan tentang Jepang yang menjadi masyarakat multikultural dan ini bukan tentang Jepang yang membuka pintunya untuk menjadi lebih berorientasi global. Ini hanya politik pasar kerja yang sangat sederhana," ujar Vogt.
https://ift.tt/2UtdHc5
December 08, 2018 at 07:26PM from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2UtdHc5
via IFTTT
0 Comments:
Post a Comment