REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Pesisir barat Pulau Sumatra, khususnya Sumatra Barat, ternyata juga berpotensi terimbas tsunami yang disebabkan longsoran tebing bawah laut, serupa dengan pemicu tsunami di Selat Sunda akhir pekan lalu. Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Sumatra Barat Ade Edward menyebutkan tsunami bisa saja menerjang pesisir barat Sumbar karena dipicu longsoran tebing bawah laut yang terletak di area Backthrust Mentawai, di antara Kepulauan Mentawai dan Pulau Sumatra.
"Berbeda dengan tsunami yang dipicu oleh Megathrust di sebelah barat Mentawai, tsunami karena longsoran tebing bawah laut di sebelah timur Mentawai akan tiba lebih cepat ke Padang," kata Ade, Ahad (30/12).
Ia menjelaskan, tsunami yang disebabkan longsoran tebing bawah laut bisa menerjang daratan tanpa perlu didahului gempa bumi, persis seperti kejadian tsunami di Selat Sunda. Ade menyebut, longsor tebing bawah laut bisa saja dipicu oleh ombak besar atau pasang surut dalam volume signifikan. Gempa dengan magnitudo kecil saja, ujar Ade, juga bisa memicu adanya longsor tebing bawah laut yang akhirnya menyebabkan tsunami.
"Longsor bawah laut Mentawai juga bisa menerjang daratan Sumbar tanpa didahului fenomena air pantai surut. Travel time mencapai daratan lebih cepat dari skenario selama ini yang 35 menit itu," kata Ade.
Mengantisipasi potensi bencana yang mengancam Sumatra Barat ini, Ade mengingatkan Pemerintah Provinsi Sumatra Barat bersama instansi terkait untuk memastikan berfungsinya tide gauge atau alat pengukur muka air laut. Alat ini dianggap memiliki fungsi sebagai pendeteksi dini bila ada ancaman tsunami akibat adanya longsor bawah laut. Ia menyebutkan, tide gauge yang dipasang di Mentawai bisa merekam adanya perubahan tinggi muka air laut secara mendadak dan memberi waktu bagi masyarakat di Sumbar daratan untuk mengevakuasi diri.
"Setelah kecolongan tsunami longsor di bawah laut Palu dan Anyer, sebaiknya tide gauge di Sumbar diaktifkan sebagai deteksi dini tsunami," katanya.
Peneliti LIPI, Danny Hilman Natawidjaja menjelaskan bahwa ada atau tidaknya fenomena 'air laut surut' bergantung pada sumber gempa. Khusus Sumatra Barat, ada dua ancaman gempa bumi yang bersumber di laut yakni Zona Megatrust yang berada di sebelah barat Kepulauan Mentawai dan zona Backthrust Mentawai yang berada di antara Kepulauan Mentawai dan Sumatra daratan (sebelah timur Mentawai).
"Yang didahului laut surut kalau sumber gempa Megathrust. Kalau itu yang pecah, maka yang pertama terjadi laut akan tersedot dulu ke bawah sebelum akhirnya membal ke daratan. Namun sumber gempa di Mentawai tak hanya itu, ada juga di antara Siberut dan Padang (Bakcthrust Mentawai). Itu akan langsung hantam daratan dan lebih cepat," jelas Danny panjang lebar.
Menurut analisis yang pernah dilakukan Danny bersama peneliti lainnya yakni Kerry Sieh, Jamie McCaughley dan Ashar Lubis, menyebutkan bahwa gempa bumi yang bersumber dari Zona Megathrust akan jauh lebih merusak ketimbang gempa yang bersumber dari Backthrust Mentawai. Gempa dari Megathrust bisa mencapai magnitudo 8,8 Skala Richter (SR), sementara gempa dari Backthrust Mentawai diperkirakan tak akan lebih dari 8 SR.
"Dengan ancaman ini, saya minta Pemprov Sumbar jangan melempem lakukan mitigasi bencana dan simulasi evekuasi. Sejak 2005 sempat giat, makin ke sini terlihat makin melempem. Jangan-jangan orang sudah lupa jalur evakuasi ke mana," katanya.
Isu soal ancaman tsunami memang sudah sering didengar masyarakat Sumatra Barat. Namun Danny mengingatkan Pemprov Sumbar untuk tak lengah melakukan edukasi terkait bencana. Ia menyampaikan, masyarakat di pesisir Sumbar punya waktu sekitar 30 menit untuk mengevakuasi diri ke tempat lebih tinggi bila gempa besar terjadi di Megathrust.
http://bit.ly/2EWOF0B
December 31, 2018 at 03:00AM from Republika Online RSS Feed http://bit.ly/2EWOF0B
via IFTTT
0 Comments:
Post a Comment