REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Istilah "kecebong" dan "kampret" menjadi wajah buruk polarisasi politik Indonesia yang selama ini sudah menggurita di ranah akar rumput. Jurang pemisah tersebut bermula sejak Pemilihan Umum Presiden 2014.
Dosen Komunikasi Politik Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Semarang Suryanto mengatakan sejak empat tahun lalu, masyarakat terbelah menjadi dua kubu. Sampai sekarang, jurang pemisah antarkubu tersebut berlanjut dan makin dalam.
"Polarisasi yang selama ini kita takutkan, kemarin sudah menelan korban. Bahkan, jatuhnya korban karena saling membunuh hanya perbedaan pilihan politik," katanya di Semarang, Kamis (27/12) petang.
Di lain pihak, Suryanto menyayangkan konten kampanye Pilpres 2019 yang tidak sehat juga terjadi di media arus utama. Para kandidat dan para elite pendukungnya bahkan saling serang, fitnah, dan mencari kelemahan satu sama lain.
Menurut dia, pada saat kampanye, seharusnya tidak saling mencela, menjelekkan, mencemooh, dan menjatuhkan. "Terkadang kita sering lupa saat kampanye bahwa kita ini adalah satu, yaitu sebagai bangsa Indonesia dan bersaudara, ini yang harus kita rawat dan kita pelihara," ujarnya.
Namun, pada kenyataanya di berbagai media televisi yang menyajikan debat publik juga tidak kalah membosankan. Bahkan, memuakkan karena perdebatan nirsubstansi di ruang publik yang makin sesak dengan narasi dan pembicaraan dari permasalahan politik.
Masyarakat makin ke sini, katanya lagi, dihadapkan dengan berbagai realitas publik yang membicarakan politik yang tidak tentu. Sebab, dalam hal esensi, senantiasa diperdebatkan hanya persoalan fisik, fitnah, kebohongan (hoaks), kebencian, caci maki, dan adu domba.
Kalau melihat dari segi pendidikan politik, kata Suryanto, politik itu untuk kemuliaan dalam hal menciptakan kesejahteraan, keamanan, ketertiban, dan kelayakan dalam bernegara. Namun, yang diperlihatkan kepada publik sekarang ini adalah perseteruan antarkubu pilihan masing-masing.
Suryanto lantas menyebutkan sejumlah istilah yang mengemukan pada masa kampanye Pemilu 2019, seperti "politikus sontoloyo", "gendruwo", "wajah Boyolali", "Indonesia akan bubar", dan "Indonesia akan punah". Istilah-istilah itu diciptakan para politikus untuk mencari simpati dan menyerang pihak lawan demi kekuasaan.
Ia mengutarakan politikus seyogianya tidak mengedepankan narasi kebencian yang senantiasa menampilkan diri ketika perbedaan pandangan menjadi sebuah landasan untuk saling membenci dan menjatuhkan antarsesama anak bangsa. "Yang patut dipertanyakan kemudian adalah ke mana selama ini politik kebangsaan yang dicontohkan oleh para pendiri bangsa ini?" katanya.
Menurut dia, beda pilihan semestinya telah diterima sebagai sebuah keniscayaan. Masalahnya, setiap orang akan selalu punya cara pandang dan penilaian yang tidak sama dengan orang lain, termasuk dengan teman atau dengan ayah dan ibu serta anggota keluarga lainnya.
Ia lantas menekankan seharusnya beda pilihan tidak boleh merusak iklim kondusif yang sejatinya selalu menjadi kebutuhan semua orang.
http://bit.ly/2ER4Yfn
December 27, 2018 at 07:28PM from Republika Online RSS Feed http://bit.ly/2ER4Yfn
via IFTTT
0 Comments:
Post a Comment