REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) memantau kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah sepanjang 2004 hingga 2018. ICW menemukan fenomena partai politik menjadi produsen kepala daerah korup.
"Semua parpol menyumbang kepala daerah korup," kata Peneliti ICW Almas Sjafrina dalam paparannya di Kalibata, Jakarta Selatan, Ahad (16/12). Kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi berasal dari parpol meliputi kader atau yang diusung dalam kontestasi pilkada.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ikut menyumbang Bupati Ngada, Nusa Tenggara Timur Marinus Sae sabagai kader koruptornya. Sementara, Gerindra tak mau kalah menyumbang kader koruptornya melalui Bupati Karawang Ade Swara terlibat pemerasan PT Tatar Kartabumi terkait izin pembangunan mal.
Dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Mochamad Anton yang menjadi Wali Kota Malang terlibat dalam kasus suap pembahasan APBD Kota Malang di tahun anggaran 2015. Kemudian, dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Bupati Bogor Rachmat Yasin terlibat korupsi pengurusan izin tukar menukar lahan hutan seluas 2,75 hektare.
Kader Golkar yang menjadi Gubernur Banten Atut Chosiyah juga turut merapat ke barisan para koruptor dengan terlibat suap ke MK terkait sengketa pemilihan Bupati Lebak. Begitu pula Partai Berkarya, meskipun masih baru dalam kancah politik nasional, kadernya yang merupakan Bupati Sungai Hulu Tengah Abdul Latif juga menerima gratifikasi proyek.
Bupati Malang Rendra Kresna dari Nasdem terlibat suap pengadaan sarana pendidikan. Sementara, Gubernur Sulteng dari PAN Nur Alam terlibat korupsi pemberian izin pertambangan nikel di wilayahnya. Bupati Tapanuli Selatan Raja Bonaran dari Hanura juga terlibat dalam suap penanganan sengkata Pilkada ke Ketua MK Akil Mochtar.
Kemudian, Gatot Pujo Nugroho dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) terlibat suap pembahasan APBD Sumatra Utara. Sementara, Partai Demokrat menyumbang Bupati Boven Digul Yusak Yaluwo yang korupsi keuangan daerah otonomi khusus.
ICW menyayangkan, hak politik para koruptor itu pun tidak dicabut. Padahal, pasal 10 KUHP memungkinkan untuk dilakukan pencabutan hak memilih dan dipilih bagi koruptor. Sepanjang 2004 hingga 2018, ada 104 kepala daerah koruptor. Sebanyak 86 di antaranya sudah divonis. Dari vonis itu, hanya ada 26 vonis yang mencabut hak politik.
ICW juga menyayangkan komitmen para partai politik. Komitmen partai dalam memberantas korupsi patut dipertanyakan karena partai masih saja mencalonkan mantan napi koripsi sebagai kepala daerah. Sehingga, ICW merekomendasikan partai untuk memperbaiki proses rekrutmen politiknya.
"Partai perlu berkomitmen untuk mendorong upaya pemberantasan korupsi dengan tidak kembali mencalonkan kembali mantan napi korupsi," kata Almas Sjafrina.
https://ift.tt/2Br6GQG
December 16, 2018 at 07:06PM from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2Br6GQG
via IFTTT
0 Comments:
Post a Comment