REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, sampai dengan Rabu (12/12), perusahaan fintech peer to peer (p2p) lending yang berstatus terdaftar atau mendapatkan izin mencapai 78 entitas. Mereka sudah memenuhi Peraturan OJK 77/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.
Juru Bicara OJK Sekar Putih Djarot mengatakan, penanganan P2P ilegal terus dilakukan oleh OJK melalui Satgas Waspada Investasi (SWI). Setidaknya, 404 entitas P2P ilegal telah diberi tindakan dengan menghentikan kegiatan operasional mereka. "Kami juga sudah umumkan nama-nama perusahaan ilegal ke masyarakat," ujarnya dalam konferensi pers di Kantor OJK, Jakarta, Rabu (12/12).
Tindakan lain yang dilakukan OJK terhadap P2P ilegal adalah memutus akses keuangan mereka pada perbankan dan fintech payment system. Sekar menjelaskan, upaya ini dilakukan atas kerja sama OJK dengan Bank Indonesia.
Tidak berhenti di sini, Sekar menambahkan, OJK juga sudah mengajukan blokir situs dan aplikasi secara rutin kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo). Terakhir, OJK turut menyampaikan laporan informasi kepada Bareskrim Polri sebagai pihak yang bertanggung jawab atas proses penindakan hukum.
Sekar menjelaskan, untuk menghentikan bibit perusahaan fintech P2P lending ilegal, dibutuhkan kerja sama dari berbagai pihak. Tidak hanya dari pemerintahan dan kepolisian, juga masyarakat yang memiliki hubungan langsung dengan akses pembiayaan.
Oleh karena itu, ia mengimbau kepada seluruh masyarakat untuk membaca dan memahami persyaratan ketentuan dalam P2P lending. Selain manfaat berupa alternatif pendanaan, masyarakat juga mengerti tentang biaya dan kewajiban pembayaran agar terhindar dari hal-hal yang dapat merugikan.
Sekar mengatakan, masyarakat harus memahami bahwa P2P lending merupakan perjanjian pendanaan yang pastinya akan menimbulkan kewajiban di kemudian hari. "Dalam hal ini adalah pengembalian pokok dan bunga utang secara tepat waktu sesuai dengan kesepakatan antara kedua belah pihak," katanya.
Direktur Pengaturan, Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi memastikan, OJK telah menindak tegas untuk memblokir fintech ilegal. Ia meminta agar masyarakat untuk meninggalkan dan menghindari urusan dengan fintech yang tidak terdaftar di OJK.
Hendrikus menyebutkan, permasalahan fintech tidak hanya dialami oleh masyarakat Indonesia. Negara lain seperti Cina juga mengalami kondisi serupa. Permasalahan ini timbul sebagai salah satu dampak dari perkembangan fintech dari waktu ke waktu, termasuk P2P lending.
Hanya saja, menurut Hendrikus, karakter permasalahannya cenderung berbeda. Di Cina, ekosistem fintech bermasalah karena terdapat penyalahgunaan oleh penyelenggara. "Kalau di Indonesia justru terbalik. Peminjam justru tidak membayar utangnya," ucap Hendrikus.
Hendrikus menambahkan, fintech ilegal merupakan satu dari tiga cluster fintech yang ada di Indonesia. Jumlahnya tidak sampai sepertiga, dengan karakter, siapapun dapat meminjam tanpa jaminan. Inilah yang menyebabkan bunga pinjaman cenderung lebih tinggi dibanding dengan dua cluster lain.
Untuk cluster pertama, diisi oleh fintech yang memberikan layanan dalam ekosistem tertutup seperti Informa, Ace Hardware dan Tokopedia. Hendrikus menjamin, tidak pernah ada keluhan dalam cluster ini. "Pinjamannya dapat berkompetisi dengan tingkat bunga bank. Misalnya, kalau di bank 15 persen, di sini bisa hanya 10 persen," katanya.
Sementara itu, pada cluster kedua, ekosistemnya terbuka tapi lebih terbatas dibanding dengan dua cluster lain. Hendrikus menyebutkan, Traveloka masuk dalam kelompok ini. Dalam model bisnis tersebut, Hendrikus menjelaskan, peminjam harus menyertai jaminan personal garansi.
https://ift.tt/2rwL54r
December 12, 2018 at 04:53PM from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2rwL54r
via IFTTT
0 Comments:
Post a Comment