REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Anggota Komisi X DPR RI Ferdiansyah meminta Kemenristekdikti mengkaji betul rencana pemangkasan Sistem Kredit Semester (SKS) untuk program sarjana dan diploma di perguruan tinggi. Jika tidak ada pengkajian mendalam, Ferdi mengaku khawatir kebijakan ini akan ‘mandul'.
“Jadi bagaimana kesiapan sarana prasana atau dosen, katanya kekurangan dosen kan? Itu SDM-nya siap tidak? Itu harus dipaparkan ke komisi X. Supaya kebijakan ini tidak mandul,” kata Ferdi kepada Republika, Sabtu (8/12).
Ferdi mengakui, sejujurnya dia pun merupakan salah satu orang yang merasa dirugikan dengan sistem SKS. Karena dengan jumlah 144 SKS untuk program sarjana, sering kali ada repetitif atau pengulangan materi.
Namun begitu dia tidak ingin rencana pemangkasan SKS ini hanya bertujuan untuk mempercepat kelulusan mahasiswa. Tanpa memperhatikan konten pembelajaran, pengoptimalan peningkatan kompetensi lulusan, dan lainnya.
“Jadi target pemerintah itu bukan hanya mempercepat waktu kelulusan mahasiswa semata. Tapi dalam hal keilmuan, skill mahasiswa itu harus tercapai juga,” jelas Ferdi.
Sementara itu, kata Ferdi, Komisi X akan sangat terbuka jika Kemenristekdikti ingin melakukan audiensi terkait rencana pemangkasan SKS. Namun begitu dia mengingatkan agar sebelum audiensi, kajian tentang rencana pemangkasan SKS telah dikaji secara dalam dan detail.
Sebelumnya, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) berencana untuk memangkas jumlah Satuan Kredit Semester (SKS) pada jenjang sarjana (S1) dan diploma. Namun berapa jumlah SKS yang akan dipangkas masih dikaji oleh pihak Kemenristekdikti.
Menristekdikti Mohammad Nasir mengatakan, saat ini bobot SKS untuk S1 mencapai 144 SKS dan diploma mencapai 120 SKS. Jumlah SKS tersebut dinilai terlalu berat,menghambat kreativitas mahasiswa, dan juga membebani pembiayaan.
"Saya kira untuk S1 jadi maksimal 120 SKS, dan D3 90 SKS itu sudah cukup," kata Nasir.
Selain mahasiswa, kata Nasir, bobot SKS tersebut juga dinilai membebani dosen. Karena dengan jumlah SKS tersebut, dosen terlalu sibuk mengajar di kelas dan lupa melakukan penelitian.
"Kalau SKS nya terlalu banyak, mahasiswa dan dosen tidak bisa mengeluarkan kemampuannya dengan baik dan dosen tidak bisa melakukan penelitian untuk meningkatkan kualitas mengajar," ucap Nasir.
https://ift.tt/2QzN4U3
December 08, 2018 at 03:27PM from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2QzN4U3
via IFTTT
0 Comments:
Post a Comment