REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, menilai wajar jika ada pihak-pihak yang khawatir dengan kotak suara pemilu. Menurutnya, persoalan kotak suara yang mengemuka saat ini merupakan ujung dari aturan penggantian kotak suara.
"Adanya kekhawtiran terkait dengan kotak suara itu wajar-wajar saja, karena warga negara hanya memiliki satu suara untuk satu orang yang juga bernilai satu. Tentu mereka ingin suara yang diberikan disimpan di tempat yang aman," ujar Titi kepada wartawan di D'Hotel, Jl Sultang Agung, Jakarta, Ahad (16/12).
Yang harus diingat, kata dia, bukan hanya sekedar soal bahan baku kotak suara. Instrumen pengaman kotak suara dan pengawasan saat mempergunakan kotak suara jauh lebih penting.
Dia memberikan contoh, seandainya kotak suara terbuat dari alumunium atau baja sekalipun, tidak akan menjamin keamanan jika pengawasan tidak maksimal.
"Tetapi kalau surat suara disimpan di dalam karton dan dikawal, diawasi dan dijaga keamanannya dengan baik tentu dia akan sama amannya dengan bahan lain yang dianggap lebih menjamin," tegas Titi.
Lebih lanjut dia menjelaskan jika pilihan kotak suara memiliki latar belakang berupa aturan pada pasal 341 UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. Aturan ini secara eksplisit menyatakan kotak suara harus tembus pandang.
Maka, masalah kotak suara saat ini menurutnya merupakan ujung dari aturan dalam undang-undang yang menghendaki penggantian kotak suara dari desain lama ke desain baru.
"Jadi kotak suara alumunium diminta untuk diganti oleh pembuat undang-undang yang dalam hal ini parpol di parlemen dan pemerintah melalui penjelasan pasal 341 ayat 1 UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. Ketentuan tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh KPU, " ungkap Titi.
Salah satu langkah tindaklanjut itu yakni membuat berbagai desain kotak suara. Mulai dari bahan plastik seperti kontainer penyimpan barang, kotak suara yang terbuat dari mika atau kaca serta kotak suara yang salah satu sisinya transparan.
Selanjutnya, pada September lalu ada sejumlah simulasi yang dilakukan oleh KPU. Simulasi ini mengujicoba sejumlah desain kotak suara, yakni yang menggunakan bahan plastik, mika, kaca, kontainer serta kotak suara yang salah satu sisinya transparan.
Pilihan-pilihan tersebut kemudian dikonsultasikan dengan DPR dan pemerintah, karena memang spesifikasi perlengkapan pemungutan suara termasuk kotak suara harus dituangkan dalam Peraturan KPU (PKPU). Ini kemudian disepakati dan disahkan dalam PKPU 15 Tahun 2018.
"Keputusan itu adalah keputusan yang waktu itu menurut kami sedikit kontrovesrial karena memang masih bisa digunakan, jumlahnya sekitar 1,8 juta unit. Sehingga kami usulkan kotak suara transparan itu hanya digunakan untuk melengkapi kotak suara berbahan alumunium. Namun, undang-undang mengatakan tidak boleh ada kotak suara alumunium," paparnya.
Karena itu, dia menegaskan jika hulu dari persoalan ini adalah undang-undang. Pilihan untuk menggunakan kotak suara berbahan dasar karton kedap air sudah disepakati bersama antara penyelenggara, pengawas pemilu, pembuat undang-undang dan pemerintah.
"Sehingga kalau sekarang ada keraguan terkait keamanan lalu kapasitas dan kompetensi kotak suara karton terhadap suara didalamnya maka kita harus mengevaluasi bersama, apalagi keputusannya usdah dibuat bersama. Yang harus kita evaluasi apa instrumen yang melengkapi kotak suara karton itu, bagaimana KPU memastikan petugas yang ada dilapangan bisa mengamankan kotak suara dengan baik, bagaimana SOP-nya, seperti apa pengawasannya," tambah Titi.
https://ift.tt/2rF9rt2
December 16, 2018 at 04:51PM from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2rF9rt2
via IFTTT
0 Comments:
Post a Comment