REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Poligami masih menjadi polemik jika ditelisik dari berbagai perspektif. Ada yang mengamininya karena bagian dari syariat, ada pula yang menentangnya karena dianggap menjadi penyebab kekerasan dan keretakan hubungan rumah tangga.
Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, Sri Nurherawati mengatakan, dalam UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang memberi berbagai syarat terhadap poligami masih bersifat diskriminatif terhadap perempuan. "Peraturan tersebut bersifat mendua, di satu sisi sebagai aturan yg diskriminatif terhadap istri," kata dia kepada Republika.
Menurutnya, dalam UU tersebut istri tidak mempuyai posisi seimbang dalam rumah tangga sebagaimana hak dan kewajiban suami-istri saling mencintai, dan saling menghormati dalam perkawinan. Hal itu pula, yang menyebabkan kesetaraan perempuan dalam perkawinan tidak dilindungi. Terlebih lagi ketika istri dalam kondisi sakit yang tak dapat disembuhkan yang menyebabkan tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai seorang istri.
"Alasan-alasan dalam UU tersebut disandarkan pada pendapat suami," tegasnya.
Berdasarkan hasil penelitiannya, Komnas Perempuan menyatakan bahwa poligami merupakan salah satu sumber kekerasan terhadap perempuan. Sekitar 46 persen perempuan yang dimadu, memilih bercerai akibat diterlantarkan oleh suaminya. Sedangkan 54 persen sisanya, adalah gabungan dari laporan kekerasan dalam rumah tangga hingga tidak berani melaporkan kepada petugas berwenang.
"Oleh karenanya, Komnas Perempuan menegaskan, ketika beristri lebih dari seorang tanpa memenuhi alasan, syarat dan tata cara sebagaimana UU Perkawinan dan kompilasi hukum Islam merupakan tindak pidana yang melanggar pasal 279 KUHP," ujar dia.
Sri melalui Komnas Perempuan merekomendasikan kepada Pengadilan Agama, KUA , serta Dinas Dukcapil untuk benar-benar menjalankan mandat UU Perkawinan dan kompilasi hukum Islam secara ketat. Caranya, dengan tidak memberikan dukungan bagi pelaku yang melanggar pasal 279 KUHP.
Ia melanjutkan, implementasi poligami saat ini cenderung mengarah ke dalam kategori kekerasan dalam rumah tangga yang termasuk dalam kejahatan perkawinan. Jika kekerasan dalam rumah tangga terjadi, lanjutnya, maka hak-hak istri seperti nafkah dan hak waris terbengkalai dan melenceng dari perlindungan hukum.
"Asas perkawinan di UU Perkawinan adalah monogami,maka seharusnya mengikuti mandat uu perkawinan," ucapnya.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Heru Susetyo mengatakan, UU Perkawinan tidak melarang poligami. Namun, UU itu mengatur ketat bagaimana negara 'turun tangan' untuk mencampuri urusan itu.
"Untuk berpoligami harus ada persetujuan dari pengadilan agama, lalu dari pengadilan akan memberikan izin jika persyaratan terpenuhi," kata Heru kepada Republika.
Pada UU tersebut, dalam pasal 3 ayat 2 disebutkan bahwa seorang laki-laki yang hendak memiliki istri lebih dari satu harus lebih dulu meminta izin kepada istri yang bersangkutan. Kemudian, dalam pasal 4 ayat 1, permohonan poligami harus diurus di pengadilan di daerah sesuai dengan tempat tinggalnya.
Lalu, di ayat 2, poligami hanya boleh dilakukan ketika istri tidak dapat melaksanakan tugasnya secara biologis. Pada pasal 5, seorang istri yang hendak menikah lagi harus menjamin keadilan bagi istri-istrinya ketika sudah berpoligami.
"Sebenarnya kita menganut asas monogami terbuka pada prinsipnya. Namun undang-undang mengizinkan poligami dengan syarat-syarat tertentu atau izin pengadilan agama," ungkapnya.
Yang menjadi persoalan, ujarnya, adalah sebagian besar poligami terjadi di 'bawah tangan' atau tidak melalui izin pengadilan agama. Menurutnya, hal tersebut didasari oleh laki-laki yang ingin menikah lagi walaupun istrinya mampu menjalani tugas biologisnya.
"Sehingga (pernikahan itu) cuma dipaksakan karena pengaruh syahwat dan sebagainya," tuturnya.
Selain itu juga, dalam konteks poligami terdapat disharmoni antara hukum di Indonesia dengan hukum Islam. Ia mengatakan, dalam hukum Islam tidak disebutkan untuk melakukan poligami harus mendapat izin dari pihak ketiga, dalam hal ini lembaga hukum.
"Makanya ada anggapan pakai hukum Islam saja untuk berpoligami, tidak perlu menggunakan hukum di Indonesia," ujarnya.
Kendati poligami juga diatur dalam hukum di Indonesia. Tidak ada hukuman bagi orang-orang yang melanggar aturan itu. Hal itu disebabkan, UU Perkawinan termasuk dalam ranah hukum perdata.
Kecuali, ia menegaskan, terdapat pemalsuan surat kawin, atau terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Jika terjadi, hal tersebut dapat menjadikan poligami sebagai penyebab pelanggaran hukum pidana.
http://bit.ly/2rTuEiS
December 24, 2018 at 12:09AM from Republika Online RSS Feed http://bit.ly/2rTuEiS
via IFTTT
0 Comments:
Post a Comment