Tuesday, May 28, 2019

Doa Ayah lebih Mustajabah?

Doa ayah sangatlah "amazing".

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Siti Zainab Yusuf

Selama ini, kebanyakan makhluk yang berstatus  sebagai ayah,  hanya disibukkan mencari nafkah untuk keluarganya. Membahagiakan istri dan putra-putrinya adalah tujuan utamanya. Mencukupi kebutuhan ekonomi adalah alasan utamanya. Mengangkat derajat keluarga adalah cita-citanya. Hidup lebih layak dan berkecukupan adalah prioritasnya. 

Begitu sibuknya dengan tuntutan-tuntutan tersebut, akhirnya terlupakanlah dengan urusan doa untuk putra-putrinya. Memasrahkan segala sesuatu yang berhubungan dengan doa kepada istrinya saja. Terkadang mendoakannya juga, tapi tidak yakin kalau doanya terkabulkan.

Ada semacam sekat, bahwa urusan nafkah, urusan ayah, urusan doa urusan ibu semata. Bahkan uniknya, dengan alasan sibuk bekerja yang mengantarkan ayah pada puncak rasa lelahnya, membuat terlena dengan waktu istirahatnya. Tak ada waktu untuk bangun malam untuk shalat Tahajud ataupun shalat Hajat. Terlelap sudah hingga pagi menjelang. Terjebak lagi dengan rutinitas seperti semula. Bekerja, bekerja dan bekerja lagi. 

Kisah para Nabi setidaknya bisa dijadikan sebuah referensi, bahwa doa ayah sangatlah amazing. Ingatlah ketika Nabi Zakaria mendoakan putranya, Nabi Yahya. Robbi habli minas shalihin, robbi habli min ladunka zurriyatan thoyyibatan.

Akhirnya doa Nabi Zakaria terkabulkan, lahirlah Nabi Yahya. Nabi Yahya mempunyai keistimewaan di atas Nabi Isa. Buktinya Allah SWT, memberikan salam kepada beliau dari Allah sendiri, wa salaamun alaihi yauma wulida, wa yauma yamuutu wa yauma yub’atsu hayya.

Nabi Yahya adalah Nabi yang suci hati dan pemikirannya. Dia tidak mempunyai pemikiran yang kotor atau ngeres. Semua itu berkat doa ayahnya, Nabi Zakaria.

Dan yang tak kalah pentingnya adalah doa Nabi Ibrahim untuk anak keturunannya. Sebagaimana hadits Nabi Saw, “Akhbirnaa an nafsik,” suatu kali para sahabat bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hakikat keberadaan beliau di tengah-tengah mereka. “Beritahu kami tentang dirimu,” sederhananya. “Ana,” jawab Rasulullah, “da’watu abi Ibrahim,” beliau  memperkenalkan  dirinya  sebagai sebuah  jawaban dari doa Nabi Ibrahim ‘alaihissalam.

Kita, dengan jutaan tanda tanya yang melayang-layang bergandeng rasa penasaran, pun mungkin kemudian bersimpuh di depan sebuah pertanyaan yang begitu besar: doa Nabi Ibrahim yang manakah yang membuahkan Rasulullah shallallahu ‘aiaihi wa sallam sebagai jawabannya?

Doa  tersebut   ternyata  telah terukir abadi   dalam QS  Al Baqarah: 129, “Ya Rabb kami, utuslah   untuk  mereka   seorang  Rasul  dari  kalangan   mereka, yang akan membacakan kepada   mereka   ayat-ayat  Engkau, dan mengajarkan kepada   mereka Al-Kitab (Alquran) dan   hikmah   serta menyucikan mereka. Sesungguhnya   Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi   Maha Bijaksana.”

Membacakan, mengajarkan, dan  menyucikan; pinta Ibrahim dalam doanya. Dengan  melantunkan  doa   ini  seusai  membangun  Ka’bah  bersama Ismail, segenggam  cita ia  gantungkan  ke  pucuk   tertinggi    semua  harapan  dapat  dititipkan, yakni di tangan   Rabb-nya. Seolah  ia   menyiratkan  bahwa   Rumah Allah itu  tidak  akan  bisa   menjadi  manfaat  kecuali  ia  dikelilingi  oleh orang-orang yang dibacakan, diajarkan, sekaligus  disucikan. Maka, kecemasan Nabi Ibrahim, semoga  kelak di antara  mereka yang mendiami  lingkungan  Ka’bah   tersebut  terdapat  seseorang yang memastikan  semua  itu  terwujud. Yang mengusahakan agar mereka  terliputi  ilmu, sehingga  tak  kering  jiwanya, tak  tandus  akalnya, serta  tak  kerontang  hatinya.

Permohonan  ribuan  tahun  silam   itu pun kini   terpampang di depan   mata para sahabat, menatap  lekat  mata   mereka   sembari   berkata, “Aku   adalah   jawaban   dari   doa   ayahku, Ibrahim.”

Sebuah   doa yang luar  biasa, tentunya. Sebab   pada    kemudian   hari, miliaran  manusia   merasakan  imbas   dari   doa  tersebut  hingga  detik  ini. 

Dari kisah para nabi dapatlah memotivasi kita semua, terutama para ayah untuk lebih bersemangat mendoakan putra-putrinya. Dengan modal kebersihan dan kesucian hati, yakinlah doa ayah akan lebih mustajabah. Tetap bekerja menjalankan amanah. Tetap semangat melanjutkan aktivitas mulia, mencari nafkah untuk keluarganya. Tetapi tetap termotivasi dan yakin bahwa doa-doanya juga didengar oleh Allah SWT. Layak untuk dikabulkan. Doa yang tak terabaikan. Doa yang mencapai derajat mustajabah sebagaimana doa para ibu.

Wahai para ayah, yakinlah bahwa doamu layak untuk diperhitungkan oleh Sang Maha Pencipta. Kekuatan doa ayah bisa menjadi sumber kekuatan putra-putrinya dalam menerjang badai kehidupan. Dan mampu bertahan dalam berbagai  dera dan coba. 

Doa ayah memang bisa lebih mustajabah. Bersihnya hati sang ayah akan menuntunnya mencapai mustajabah.

Bukan berarti doa ibu tidak mustajabah. Doa ibu juga mustajabah, jikalau kebersihan hati dan lisannya terjaga. Wahai ayah dan ibu,  alangkah indahnya kalau disinergikan. Alangkah dahsyatnya jika disatukan. Alangkah syahdunya jika disenandungkan bersama dalam sepertiga malam.

Sinergi doa ayah dan ibu akan menjadikan putra-putrinya menjadi anak yang saleh salehah dan mengantarkan kesuksesan mereka dalam meniti masa depannya.Berharap lillahi ta’ala wa mardhatillah. Amiin.

Let's block ads! (Why?)


http://bit.ly/2EDG415
May 28, 2019 at 04:46PM from Republika Online RSS Feed http://bit.ly/2EDG415
via IFTTT
Share:

0 Comments:

Post a Comment