REPUBLIKA.CO.ID, SERANG -- Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ignasius Jonan, menilai tsunami Selat Sunda tidak disebabkan tunggal oleh letusan Gunung Anak Krakatau. Ada faktor longsoran yang menyebabkan terjadinya tsunami.
"Kalau letusan gunung Anak Krakatau saya kira tidak, kalau longsorannya mungkin salah satu faktornya," kata Jonan ketika meninjau Pos Pengamatan Gunung Anak Krakatau, Banten, Jumat (28/12).
Dia menjelaskan, perlu ledakan serta longsoran yang berkekuatan sangat besar untuk bisa menyebabkan tsunami di Selat Sunda pada Sabtu (22/12). Menurut data dari Badan Geologi Kementerian ESDM yang disebutkan Jonan bahwa aktivitas Gunung Anak Krakatau memang meningkat. Tetapi pada saat getaran tinggi terjadi juga tidak bereaksi terhadap pasang surut air laut.
Baca juga, BMKG Pastikan Longsor Gunung Anak Krakatau Sebabkan Tsunami.
Ia mengatakan, perlu ada kajian dari para ahli untuk meneliti kejadian yang sebenarnya terjadi lebih lanjut agar fenomena alam tersebut bisa diketahui penyebabnya yang pasti. "Ini baru pertama kali terjadi, di mana ada tsunami, namun tidak didahului gempa, maka perlu ada kajian lebih lanjut, " kata Jonan.
Pada 22 Desember 2018, seperti biasa hari-hari sebelumnya, Gunung Anak Krakatau mengeluarkan letusan.
Secara visual, teramati letusan dengan tinggi asap berkisar 300 - 1500 meter di atas puncak kawah. Secara kegempaan, terekam gempa tremor menerus dengan amplitudo overscale (58 mm).
Pukul 21.03 WIB terjadi letusan, selang beberapa lama ada info tsunami. Berdasarkan citra satelit yang diterima oleh PVMBG, sebagian besar dari tubuh Gunung Anak Krakatau telah hilang dilongsorkan. Hal itu kemudian diketahui menyebabkan tsunami di beberapa wilayah di Provinsi Lampung dan Banten.
Pascakejadian tsunami tersebut, aktivitas Gunung Anak Krakatau masih tetap tinggi. Secara visual gunungapi terlihat jelas hingga tertutup kabut. Teramati asap kawah utama berwarna kelabu hingga hitam dengan intensitas tipis hingga tebal tinggi sekitar 500 meter dari puncak dengan angin bertiup lemah hingga sedang ke arah Utara dan Barat Daya.
Kegempaan masih didominasi oleh tremor menerus dengan amplitudo mencapai 32 mm (dominan 25 mm). Perkembangan pada 22-26 Desember 2018, teramati asap kawah utama berwarna kelabu hingga hitam dengan intensitas tipis hingga tebal tinggi sekitar 200-1.500 meter dari puncak.
Berdasarkan data Citra Sentinel 11 Desember 2018 dan 23 Desember 2018 terlihat bahwa sebagian lereng sektor Barat sampai Selatan terlihat telah mengalami longsor yang diperlihatkan dari perbandingan citra sebelum dan sesudah kejadian tsunami.
Pada periode tersebut terjadi gempa Tremor Menerus dengan amplitude 08-31 mm, dominan 25 mm. Pada 26 Desember 2018 letusan berupa awan panas dan surtseyan. Awan panas ini yang mengakibatkan adanya hujan abu termasuk yang terekam pada 26 Desember 2018 pukul 17.15 WIB. Dari Pos Kalianda, pukul 24.00 WIB, melaporkan suara gemuruh dengan intensitas tinggi.
http://bit.ly/2SpKRIj
December 28, 2018 at 07:25PM from Republika Online RSS Feed http://bit.ly/2SpKRIj
via IFTTT
0 Comments:
Post a Comment