REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Mas Alamil Huda, wartawan Republika.co.id
Ribuan pohon cabai menghampar menghijaukan ladang di tengah gersang pemandangan sekitar. Hijau kekuningan warna cabai kian terlihat segar dipapar matahari sore. Padatnya buah di setiap pohon adalah penegas subur dan terawatnya tanaman. Panasnya cuaca juga seolah tak mengganggu tumbuh kembang cabai, apalagi sampai melayukannya.
“Mudah-mudahan dua sampai tiga pekan lagi ini semua bisa panen,” kata Agus Panca Saputra kepada Republika.co.id di RW 05 Kelurahan Layana Indah, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng), Sabtu (22/9).
Agus merupakan tokoh pemuda di Kampung Layana Indah. Sore itu, lelaki 44 tahun tersebut sedang menyiram cabai-cabainya yang ditanam di ladang seluas kurang lebih satu hektare. Ketika Agus menyiram pohon-pohon cabai, air yang keluar dari selang berwarna biru yang dipegangnya tak mengucur deras, meski cukup untuk kebutuhan cabai-cabainya.
Mendapatkan air di sana memang tak semudah seperti di Jakarta atau di tempat-tempat lainnya. Warga Layana Indah mendapat jatah air dan menampungnya dalam bak buatan berukuran rata-rata 3x3 meter dengan kedalaman kurang lebih semeter. Setiap rumah di sana memiliki bak penampungan masing-masing. Sebanyak itulah jatah yang dialirkan oleh kelurahan ke setiap keluarga. Air itu digunakan untuk segala keperluan, dari mandi hingga kebutuhan rumah tangga lainnya.
Keterbatasan air di daerah ini juga menjadi salah satu alasan bagi Agus memilih cabai sebagai objek untuk bercocok tanam. Kebutuhan air untuk tanaman ini tak terlalu banyak. Namun, tak boleh juga kekurangan. Selain tak butuh banyak air, cabai bukan jenis tanaman seperti padi yang sekali panen ‘habis’. Cabai bisa berkali-kali berbuah dengan jangka waktu 2,5-3 bulan sekali panen.
Namun, bukanlah itu pangkal dari semua yang dilakukan Agus. Motivasinya untuk bercocok tanam tak sekadar panen dan mendapat peruntungan pribadi. Ada beban besar yang menggelayuti hatinya sebelum ia memutuskan menjadi seperti saat ini. Tentang semangat kemandirian yang kian pupus dan kepasrahan masyarakat terhadap keadaan.
Semua berawal dari keprihatinan Agus akan banyaknya pemuda di kampungnya yang lebih memilih untuk menjadi kuli bangunan atau bahkan berpangku tangan selepas lulus sekolah menengah, pertama maupun atas. Sebagian besar pemuda di kampungnya lebih memilih untuk dibayar murah menjadi kuli bangunan. Alasannya, setiap pekan mendapat bayaran, meski hanya Rp 300-400 ribu. Itupun, dalam rentang waktu tertentu lebih banyak menganggur.
Ayah tiga anak ini menyadari, lahan ‘tidur’ di Layana Indah begitu luas. Hampir setiap orang memiliki lahan yang dibiarkan menganggur dan ditumbuhi ilalang. Hingga sebuah ide terbersit di pikirannya. “Mengapa itu tidak dimanfaatkan,” pikirnya.
Akhir 2016, Agus memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya sebagai pegawai swasta. Dia ingin ‘membersamai’ para pemuda di kampungnya. Agus memutar otak untuk mengubah paradigma, bahwa tak selamanya mereka menjadi kuli bangunan atau buruh kasar lain. Satu hal yang dia yakini, mengajak dengan bicara saja tak akan menyelesaikan masalah.
Gayung pun bersambut. Keinginan Agus memberdayakan warga Layana Indah perlahan menemu jawaban. Asa itu kian menebal kala Astra International hadir di Kampung Layana Indah, Kota Palu pada medio Mei 2017. Agus dipercaya menjadi Koordinator Kampung Berseri Astra (KBA). Sebuah program kontribusi sosial berkelanjutan dari Astra International.
“Ini namanya Bu Lastri, anggota Kampung Berseri Astra yang bersama saya di sini,” kata Agus memperkenalkan seorang perempuan yang datang menghampiri saat kami sedang berbincang.
Sore itu, Lastri memang terlihat sedang mengendalikan mesin pembajak tanah di salah satu bagian lahan yang belum dimanfaatkan. Ukuran mesin relatif tidak besar, namun dia terlihat lihai memegang kendali mengarahkan ke gundukan-gundukan tanah untuk diratakan. Sesekali perempuan 35 tahun itu tampak menyeka keringat di dahi dengan kaus warna putih lengan pendek yang ia kenakan.
Agus tak sendiri di KBA Palu. Dia dibantu 10 orang lainnya sebagai satu kesatuan tim inti. Lastri salah satunya. Kadang, beberapa orang lainnya juga membantu untuk menyiram atau merapikan bagian dari ladang yang belum ditanami. Atau sekadar memeriksa cabai-cabai dari kemungkinan serangan hama.
“Mengajak orang di sini gampang-gampang susah,” kata Lastri ikut bergabung dalam perbincangan. “Karena pemuda di sini maunya pada kerja terus langsung dapat duit. Kalau begini (bertani) kan harus nunggu. Tanam dulu, merawat, baru dapat hasilnya.”
“Tapi hasilnya lumayan. Sekali panen bisa dapat besar,” ujar Agus memotong Lastri. “Begitu yang saya bilang ke pemuda-pemuda dan masyarakat di sini. Tapi kalau saya cuma ngomong, orang tidak akan mudah percaya. Makanya ini saya ingin membuktikannya, ngasih contoh.”
Berladang hanyalah pintu masuk bagi Agus mewujudkan mimpi besarnya memandirikan warga Layana Indah untuk berwirausaha. Dia bermimpi adanya usaha baru yang bisa lahir dari masyarakat. Hasil panen cabai bisa diolah sendiri oleh warga untuk menjadi sambal botol atau bubuk cabai dengan konsep industri rumahan. Semangatnya ini ditopang penuh oleh Astra.
Bibit cabai, pupuk, plastik mulsa, ajir atau penyangga tanaman hingga jaring hitam yang dipasang mengelilingi ladang untuk melindungi tanaman dari binatang ternak difasilitasi Astra. Agus bersyukur, segala keperluan untuk bertani terpenuhi. Untuk keperluan penghijauan lingkungan di tengah gersangnya Kampung Layana Indah, Agus memilih penanaman pohon mangga di setiap rumah. Pemanfaatan pekarangan rumah untuk tanaman obat dan sayuran juga dilakukan di beberapa rumah warga.
“Mangga kan juga tidak butuh banyak air. Dan yang penting, kalau 500 bibit mangga tumbuh semua, dalam lima tahun bisa jadi sentra mangga, nanti bisa diolah warga menjadi manisan atau apa saja untuk penghasilan tambahan. Penghijauan dapat, wirausahanya juga dapat. Ini agar semangat mereka untuk mandiri tumbuh,” ujar Agus.
http://bit.ly/2SwebwE
December 28, 2018 at 06:31PM from Republika Online RSS Feed http://bit.ly/2SwebwE
via IFTTT
0 Comments:
Post a Comment