REPUBLIKA.CO.ID, oleh Idealisa Masyrafina, Dian Fath Risalah, Hasanul Rizqa, Bambang Noroyono
Aktivis sekaligus dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Robertus Robet, ditangkap oleh polisi di rumahnya pada Rabu (6/3) sekitar pukul 23.45 WIB dan dibawa ke Mabes Polri atas tuduhan UU ITE terkait orasi dalam Aksi Kamisan, 28 Februari lalu. Dalam aksinya itu, Robet mengkritik rencana pemerintah memberikan jabatan sipil kepada perwira aktif TNI.
Langkah polisi yang langsung menangkap dan menetapkan Robet sebagai tersangka menuai kecaman dari komunitas masyarakat sipil. Amnesty International Indonesia, menilai, langkah represif terhadap Robet merupakan penanda belum tuntasnya reformasi di tubuh militer.
Menurut Direktur Eksekutif Amnesty International Usman Hamid, hal tersebut mendorong polisi untuk bertindak sebagai alat untuk merepresi kebebasan berpendapat. Apalagi, ia mengatakan, kepolisian bukan hanya menangkap, melainkan juga menetapkan Robet sebagai tersangka.
“Yang seharusnya dilakukan oleh polisi adalah melindungi Robet yang telah menggunakan haknya untuk menyatakan pendapat secara damai dalam mengkritik TNI, bukan menangkap dan menetapkannya sebagai tersangka," kata Usman dalam pernyataan resminya, Kamis (7/3).
Usman menambahkan, kepolisian tidak boleh bertindak sebagai alat represi terhadap orang-orang yang menyampaikan kritik secara damai. Ia mengatakan kritik yang dilontarkan Robet terhadap militer bukanlah suatu tindak pidana, melainkan sesuatu yang lumrah dalam suatu negara yang mengklaim menjunjung kebebasan sipil seperti Indonesia.
"TNI harusnya memandang kritik Robet dorongan untuk melakukan perbaikan seperti yang dimandatkan oleh reformasi,” tambah Usman.
Ia mengatakan apa yang dialami oleh Robet adalah suatu bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Negara seharusnya memberikan perlindungan terhadap siapapun yang ingin menyuarakan pendapatnya secara damai.
“Kepolisian harus menghentikan penyidikan kasus Robet karena apa yang dilakukannya hanyalah menggunakan haknya sebagai warga negara untuk menyuarakan kritik secara damai,” ujar Usman.
Sebagai kepala negara, Presiden Joko Widodo juga seharusnya melihat penangkapan sebagai tamparan buat pemerintah. Sebab, tindakan kepolisian tersebut telah mencederai iklim kebebasan berekspresi di masa pemerintahannya.
“Kami meminta agar Presiden Jokowi berinisiatif memanggil Kapolri Jenderal Tito Karnavian untuk meminta penjelasan terkait penangkapan Robet dan segera memerintahkan Kapolri untuk mengevaluasi kinerja penyidik yang telah melakukan pelanggaran HAM dengan menangkap Robet,” kata Usman.
Tim Advokasi Kebebasan Berekspresi juga mengecam penangkapan terhadap Robertus Robet. Perwakilan Tim Advokasi Kebebasan Berkespresi, Yati Andriani menilai, ini adalah ancaman kebebasan sipil pada masa reformasi.
"Kami memandang, pertama, Robert tidak menyebarkan informasi apa pun melalui elektronik karena yang dianggap masalah adalah refleksinya," kata Yati yang juga merupakan Koordinator Kontras dalam pesan singkatnya, Kamis (7/3).
Kedua, sambung dia, refleksi yang memberikan komentar apalagi atas kajian akademis atas suatu kebijakan tidak dapat dikategorikan sebagai kebencian atau permusuhan. Ketiga, TNI jelas bukan individu dan tidak bisa "dikecilkan" menjadi kelompok masyarakat tertentu karena TNI adalah lembaga negara.
Yati menegaskan, Robet tidak sedikitpun menghina institusi TNI. Dalam refleksinya Robet justru mengatakan mencintai TNI dalam artian mendorong TNI yang profesional. Baginya, menempatkan TNI di kementerian sipil artinya menempatkan TNI di luar fungsi pertahanan yang akan mengganggu profesionalitas TNI seperti telah ditunjukkan di Orde Baru.
"Pasal-pasal yang dikenakan adalah pasal-pasal yang selama ini kerap disalahgunakan untuk merepresi kebebasan berekspresi (draconian laws) dan sungguh tidak tepat, Pasal 207 KUHP berbunyi "barang siapa dengan sengaja di muka umum menghina suatu penguasa atau badan hukum akan diancam pidana penjara paling lama 1 tahun 6 bulan," terangnya.
Menurut kuasa hukum Robertus, Erwin Natosmal Oemar, penangkapan tersebut tidak seharusnya terjadi. Lebih lanjut, Erwin menilai, kepolisian semestinya menemukan dan menangkap para pelaku hoaks yang telah memotong video, sehingga pernyataan Robertus Robet dikonsumsi publik secara parsial.
"Bukan malah menangkap dirinya dan (Robertus Robet) dituduh sebagai pelaku. Saudara Robet adalah korban dari orang-orang yang memotong orasinya secara sepenggal-penggal dan memprovokasi publik untuk menangkap informasi tidak secara utuh," ujar Erwin Natosmal Oemar saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (7/3).
Meskipun menghormati proses hukum yang berlangsung atas kliennya itu, Erwin menyayangkan proses itu terkesan dipaksakan. Sebab, tanpa ada pemberitahuan yang layak, pada Rabu (6/3) malam itu Robertus Robet didatangi sejumlah aparat untuk kemudian ditangkap. Selain itu, yang bersangkutan langsung diperiksa secara maraton.
"Harusnya, ada proses klarifikasi lebih dalam terhadap video yang beredar. Bahkan, jika (video) dilihat secara utuh, pernyataan Saudara Robert mengapresiasi reformasi TNI," kata Erwin.
Penjelasan Mabes Polri
Mabes Polri membenarkan penangkapan terhadap aktivis dan akademisi Robertus Robet. Juru Bicara Mabes Polri Brigadir Jenderal Polisi Dedi Prasetyo pun memastikan, pengajar di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) tersebut sebagai tersangka ujaran kebencian dan penghinaan.
"Telah dilakukan penangkapan terhadap pelaku dugaan tindak pidana penghinaan terhadap penguasa atau badan hukum yang ada di Indonesia," kata Dedi dalam keterangan resmi Mabes Polri, Kamis (7/3).
Penguasa yang dimaksud tersebut, yakni institusi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Robet diduga melakukan orasi dengan mengoarkan lagu Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dengan gubahan lirik yang dianggap menghina. Orasi tersebut sebetulnya Robertus lakukan saat Aksi Kamisan pada Kamis 28 Februari lalu, di kawasan Monumen Nasional (Monas) Jakarta Pusat.
Menurut Dedi, aksi Robet menyanyikan lagu ABRI yang diplesetkan, dianggap penyidik melanggar Pasal 45 A ayat (2), juncto Pasal 28 ayat (2) UU ITE, dan Pasal 207 KUH Pidana. Robet dianggap melakukan kebencian dan permusuhan terhadap penguasa.
Proses pemeriksaan terhadap Robet, dilakukan di Direktorat Siber Bareskrim Mabes Polri. “Setelah dilakukan pemeriksaan, kemudian proses administrasi berita acara yang sudah selesai, saudara R dibolehkan pulang oleh penyidik,” ujar Dedi.
Setelah menjalani pemeriksaan, Robet kepada wartawan di Bareskrim Polri membenarkan aksi menyanyikan mars pelesetan ABRI tersebut, dilakukan olehnya. Pun kata dia, video viral yang beredar, pun memang dirinya.
“Jadi benar, saya ingin mengatakan, benar yang ada dalam orasi tersebut, itu saya,” ujar dia, Kamis sore.
Ia pun memahami sangkaan penghinaan yang dituduhkan kepolisian terhadapnya. “Saya pertama-tama ingin menyatakan permohonan maaf,” sambung dia.
Namun ia menerangkan, orasinya dengan mars plesetan tersebut, bukan bermaksud menghina TNI. Namun nyanyian itu, sebetulnya kritik di masa lalu terhadap ABRI.
“Tidak maksud saya untuk menghina TNI yang kita cintai,” kata dia.
Terkait status hukumnya, Robet pun mengatakan menyerahkan kepada kepolisian. “Dan saya kira bagaimana kelanjutan proses hukum terhadap saya, saya serahkan ke pihak Polri,” ujar dia.
In Picture: Aksi Menolak Rencana Menghidupkan Kembali Dwifungsi TNI
https://ift.tt/2SPgzxU
March 07, 2019 at 07:06PM from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2SPgzxU
via IFTTT
0 Comments:
Post a Comment