REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada 1953, ‘Imaduddin Abdulrahim mulai menjadi mahasiswa ITB. Di luar aktivitas kuliah, dia berkecimpung di dunia pergerakan. Wahananya adalah, terutama, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Di luar ITB, keaktifannya juga tampak. Bang 'Imad--demikian ia kerap disapa--beberapa kali diundang untuk berceramah di sejumlah daerah di Jawa Barat. Kapasitasnya sebagai mubaligh sudah terbina sejak sebelum merantau ke Jawa.
Pernah pula Bang 'Imad terlibat dalam kepanitiaan Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung pada 1955. Di sinilah dia mulai bersahabat dengan Deliar Noer (1926-2008), akademisi yang saat itu ketua umum Pengurus Besar HMI.
Selama aktif di HMI cabang Bandung, ‘Imaduddin beberapa kali duduk sebagai ketua bidang dakwah. Perhatiannya terhadap perkembangan dakwah Islam di dunia kampus begitu besar.
Pada mulanya, sasaran dakwahnya adalah internal HMI. Meskipun organisasi ini mencantumkan nama 'Islam', tidak sedikit anggotanya yang belum pandai mengaji Alquran atau mengetahui corak pemikiran Islam. Oleh karena itu, ‘Imaduddin merancang sejumlah rencana untuk menstimulus mereka.
Salah satunya, dia melobi Radio Republik Indonesia (RRI) Bandung agar rutin menyiarkan siraman rohani. Siaran rutin tiap Jumat itu diisi aktivis-aktivis HMI--minimal satu bulan sekali. Sesuai kesepakatan, konten siaran meliputi pengajian Alquran serta tafsir. Sejak saat itu, para aktivis Muslim di Bandung kian termotivasi untuk belajar ilmu-ilmu agama.
Di lingkungan PB HMI, dia berkontribusi signifikan. Perannya termasuk menonjol seiring meningkatnya keanggotaan organisasi tersebut pada 1950-an. Itulah satu hal yang disinggung Yudi Latif dalam disertasinya untuk Australian National University (2004: 295).
Sejak kongres HMI di Solo, Jawa Tengah, pada 1966 (yang semestinya berlangsung pada 1965), Bang ‘Imad duduk sebagai ketua pertama Pimpinan Pusat Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam (LDMI) HMI.
Dalam periode ini, jaringan pergaulannya kian luas. Di antara kawan-kawan diskusinya adalah para intelektual muda yang berlatar belakang santri, semisal Nurcholish Madjid (1939-2005) atau Djohan Effendi (1939-2017).
Pada 1961, Bang ‘Imad lulus dari studi S-1 ITB. Ayahandanya, Haji ‘Abdulrahim, kemudian datang ke Bandung. Biaya perjalanannya ditanggung Permina (perusahaan minyak Belanda yang telah dinasionalisasi).
Dibujuknya sang anak agar mau pulang kampung. Haji 'Abdulrahim juga membawa pesan khusus dari direktur perusahaan tersebut yang ingin agar Bang ‘Imad menjadi asistennya selama di Langkat. Johan, nama sang direktur, hanya tamatan sekolah teknik mesin, sehingga merasa perlu dibantu seorang sarjana ITB.
Bang 'Imad tidak sampai hati untuk menjelaskan, keahliannya pada teknik elektro. Kepakarannya tidak banyak beririsan dengan pertambangan minyak. Bang 'Imad lantas meminta tolong gurunya, Tubagus Sulaiman, untuk menjembatani komunikasi.
Baca juga: Mengenang Prof TM Soelaiman, Pendiri Masjid Salman ITB
Sebagai informasi, dosen teknik elektro itu merupakan orang Pribumi pertama yang meraih gelar profesor. Sulaiman menjelaskan kepada ‘Abdulrahim, bahwa anaknya itu kebetulan sedang sibuk menjadi asisten pembangunan masjid kampus.
Katanya, kelak masjid ini akan berguna bagi umat Islam di ITB atau Bandung pada umumnya. Ternyata, Haji ‘Abdulrahim justru antusias begitu menerima penjelasan ini. Bahkan, anaknya itu dinasihatinya agar konsisten. Tidak hanya dalam merealisasikan masjid tersebut, melainkan juga kemajuan dakwah Islam.
Demikianlah, Allah menakdirkan, belum waktunya Bang ‘Imad pulang kampung. Di luar soal itu, Sulaiman sendiri telah berjanji untuk membantu sang mahasiswa kesayangannya itu dalam melanjutkan studi S-2 dan S-3 di luar negeri.
https://ift.tt/2TeOQfa
March 05, 2019 at 01:49PM from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2TeOQfa
via IFTTT
0 Comments:
Post a Comment