REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gempa, tsunami dan likuefaksi yang meluluhlantakkan Palu, Donggala, Sigi di Sulawesi Tengah (Sulteng) beberapa waktu lalu, membuat wilayah itu jadi perhatian dunia. Di balik bencana itu, sesungguhnya ada banyak tabir yang belum terungkap di Sulteng.
Ketua Tim Ekspedisi Palu-Koro dan sekaligus pendiri Perkumpulan SKALA, Trinirmala Ningrum memaparkan hasil riset dan dokumentasi Ekspedisi Palu-Koro dalam acara Indofest 2019 di JCC Senayan, Jakarta, Kamis (7/3) memaparkan sejumlah temuannya. Ia menjelaskan di balik potensi gempa dan tsunami yang mengancam wilayah Sulawesi Tengan khususnya daerah sekitar Sesar Palu Koro, menyimpan kekayaan alam dan budaya yang sangat luar biasa.
“Kami mencatat berbagai macam kekayaan budaya di Sulteng. Di sana kaya sekali budayanya, mereka mempunyai 12 bahasa. Mempunyai situs megalitik bahan dan teknik pengerjaannya luar biasa,” ujarnya wanita yang akrab disapa Rini tersebut.
Dikutip dari situs resmi Ekspedisi Palu-Koro, Disasterchannel, ekspedisi ini meliputi beberapa aspek yakni geologi, arkeologi, sosiologi, budaya dan biologi. Dari aspek sosial dan budaya di daerah sekitar Sesar (patahan) Palu Koro ternyata memiliki kearifan lokal yang mencerminkan masyarakatnya telah mengerti cara mengatasi bencana alam.
Kearifan lokal tersebut adalah arsitektur rumah tradisional. Semua rumah tradisional yang berada disana merupakan rekontruksi bangunan tahan gempa dan adaptasi dengan lingkungan alam lingkungan sekitarnya.
Saat ini, jarang terlihat rumah tradisional di era modern seperti ini. Semua telah bertrasinsi menjadi rumah bergaya arsitektur modern. Arsitektur tradisional yang disebut rumah adat Lobo milik suku bangsa Kulawi ini masih terjaga sampai saat ini dan telah teruji ketahanannya menghadapi guncangan gempa.
Wakil kepala museum daerah Provinsi Sulawesi Tengah, Ikhsam mengatakan selama ini keyakinan yang dipegang di masyarakat terkait gempa ada dua. Gempa kecil, yang diyakini sebagai tanda leluhur akan datang dan tanda memperkuat tulang bumi. Keyakinan kedua, adalah ketika terjadi gempa dengan kekuatan besar diyakini sebagai bentuk cobaan dan cara intropeksi diri.
Setelah terjadi gempa besar masyarakat akan mengadakan upacara adat Linu. Upacara ini bertujuan untuk meminta keselamatan. Keyakinan-keyakinan turun menurun inilah yang terkadang bisa menjadi acuan untuk mewaspadai datangnya bencana alama saat ini.
Dari segi geologi, Sulawesi memiliki sesar yang jumlahnya sangat banyak. Sesar ini ada akibat proses tektonik. Berdasarkan paparan dari Geolog LIPI, Danny Hilman terdapat dua sesar yang berpotensi mengasilkan guncangan gempa yang sangat besar yakni Sesar Palu Koro dan Sesar Matano.
Berdasarkan sejarah gempa, pernah terjadi gempa besar di Sulwesi. Salah satu penyebabnya adalah Sesar Palu Koro. Pada 1828, pergeseran Sesar Palu Koro menyebabkan gempa yang berkekuatan 7,9 SR dengan korban meninggal yang cukup banyak. Tahun 1907 terjadi gempa yang bersumber dari retakan sesar yang tegak lurus dengan Sesar Palu Koro sekitar daerah Kulawi hingga Lindu.
Selanjutnya, pada 2012 terjadi gempa yang sama dengan karakteristik gempa 1907. Dan terakhir gempa yang terjadi tahun 2018 di Palu dan Donggala yang berkekuatan &,4 SR. Berdasarkan analisis Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) guncangan gempa tersebut akibat bergeraknya Sesar Palu Koro, sehingga Sulawesi harus terus mewaspadai ancaman-caman gempa berkekuatan besar.
Sisi Biologi, fauna di Sulawesi sangat variatif. Berdasarkan penelitian yang dilakukan ahli biogeografi Alfred Russel Wallace pada 1857, keragaman fauna di Sulawesi berkaitan erat dengan peristiwa geologi yang membentuk pulau tersebut. Hal ini dibuktikan melalui teori pergerakan lempeng yang mengakibatkan menyatunya empat kepingan dari Sundaland, Australia, dan Pasifik menjadi Sulawesi.
Selain itu, ditemukannya peninggalan megalitik di Sulawesi Tengah. Danny mengatakana, teknik dan bahan untuk membangun megalitikum ini sangat menakjubkan. Pasalnya, patung tersebut berasal dari batu granit yang keras namun bisa menjadi sangat halus.
Menurut Danny, megalitik yang ditemukan mempunyai kemiripan dengan megalitik yang berada di Gobekli Tepe, Turki dan di Easter Island, sebuah pulau di lautan Pasific selatan yang masuk di wilayah terotorial Chili. Kemiripan tersebut salah satunya bisa dilihat, katanya, dari patung manusia dengan kedua tangan yang diletakkan di perut dan juga patung binatang. Namun menurutnya, ada dan tidaknya hubungan antara megalitik yang ditemukan di Sulawesi dan Turki perlu penelitian yang lebih lanjut.
Ekspedisi Palu-Koro diprakarsai oleh Perkumpulan Skala dan Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI). Ekspedisi ini dimulai dari tahun 2017 sampai 2018. Ekspedisi bertujuan mendokumentasikan dan menghasilkan riset yang berkaitan dengan Sesar Palu Koro yang dinilai masih sedikit. “Masih sangat sedikit dokumentasi dan hasil riset tentang Palu Koro. Kalaupun ada masih sangat scientific banget. Itulah kenapa kami lantas punya ide untuk melakukan ekspedisi Palu Koro,’’ kata Rini.
https://ift.tt/2EK9Tw7
March 08, 2019 at 07:18AM from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2EK9Tw7
via IFTTT
0 Comments:
Post a Comment